New Templates

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 28 Oktober 2011

Meraih Ampunan Alloh

Meraih Ampunan Alloh



Dan dari Anas bin Malik radhiallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shalallohu ‚alaihi wa sallam bersabda: “Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Wahai anak adam, sesungguhnya jika engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak akan memperdulikannya lagi. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu memenuhi seluruh langit, kemudian engkau memohon ampun padaku, niscaya Aku akan mengampunimu. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepadaku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau menjumpaiku dalam keadaan tidak berbuat syirik dengan apapun niscaya aku akan datang kepadamu dengan pengampunan sepenuh bumi pula. (HR Tirmidzi, beliau berkata: “hadits ini hasan”) Wallohu a’lam, semoga sholawat tercurah pada nabi Muhammad.

Penjelasan:
Dari Anas radhiallohu ‘anhu beliau berkata: Saya mendengar Rosululloh ¬shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: [Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman,’ Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak akan memperdulikannya lagi] Yang dimaksud [“Anak Adam”] pada perkataan ini adalah seorang muslim yang mengikuti risalah rosul yang diutus kepadanya. Maka orang-orang yang mengikuti risalah nabi Musa ‘alaihi salam pada zamannya, maka dia termasuk orang yang diseru dengan panggilan ini. Orang-orang yang mengikuti risalah nabi Isa ‘alaihi salam pada zamannya, maka dia juga termasuk orang yang diseru dengan panggilan ini. Adapun setelah diutusnya Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang yang mendapatkan balasan dan keutamaan seperti yang disebutkan dalam hadits ini adalah mereka yang mengikuti Al Musthofa (Nabi Muhammad) shalallahu ‘alaihi wa sallam, beriman bahwa risalah yang beliau bawa adalah penutup risalah para nabi, mengakui kenabian dan risalah yang beliau bawa dan mengikuti petunjuk beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Alloh jalla wa ‘ala berfirman pada hadits ini: [Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak akan memperdulikannya lagi] Kalimat ini memiliki makna yang serupa dengan firman Alloh jalla wa ‘ala:
قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَتَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Az Zumar: 53)
Jika seorang hamba melakukan perbuatan dosa kemudian segera bertaubat, berdoa kepada Alloh jalla wa ‘ala agar Ia mengampuninya serta mengharapkan ampunan-Nya, maka Alloh akan mengampuni dosa-dosanya selama dia bertaubat karena “Taubat itu menghapus dosa-dosa sebelumnya”.
Kemudian Alloh jalla wa ‘ala berfirman pada hadits ini: “sesungguhnya jika engkau berdoa dan berharap kepada-Ku”. Kalimat ini menjelaskan bahwa doa disertai dengan harapan akan menyebabkan Alloh mengabulkan permohonan ampun. Ada sebagian orang yang berdoa pada Robb-Nya dengan harapan yang lemah dan tidak berhusnuzhon pada Robb-Nya padahal Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku pada-Ku maka hendaklah berprasangka pada-Ku sebagaimana dia kehendaki”. Jika seorang hamba berdoa untuk memohon ampun atas segala dosa-dosanya maka hendaknya dia berdoa untuk memohon ampun pada Alloh dengan berkeyakinan bahwa Alloh memiliki kemurahan yang sangat besar dan dia berharap bahwa Alloh akan mengampuni dosa-dosanya. Orang yang melakukan hal ini, niscaya Alloh akan mengampuni dosa-dosanya.
Maka jika seseorang telah memiliki rasa harap yang sangat besar pada Alloh dan yakin bahwa Alloh akan mengampuninya niscaya dia akan mendapatkan apa yang ia cari. Hal tersebut dikarenakan besarnya rasa harap dan prasangka yang baik pada Alloh. Banyak ibadah-ibadah hati (ibadah qolbiyyah) yang harus dilakukan oleh seorang pelaku dosa ketika memohon ampun dan bertaubat. Banyak ibadah-ibadah hati yang harus dilakukan agar perbuatan dosa diampuni sebagai karunia dan kemuliaan dari Alloh jalla wa ‘ala.
Kemudian Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: “niscaya Aku akan mengampunimu”. Pengampunan (المغفرة) memiliki makna menutup bekas-bekas dosa di dunia dan akhirat. Pengampunan tidak sama dengan menerima taubat, karena pengampunan memiliki makna menutup (ستر). Mengampuni sesuatu (غفر الشيء) memiliki makna menutup sesuatu (ستره). Menutup dosa-dosa memiliki makna bahwa Alloh jalla wa ‘ala akan menutup dampak-dampak dosa di dunia dan akhirat. dampak dosa di dunia adalah balasan atas perbuatan dosa tersebut di dunia, sedangkan dampak dosa di akhirat adalah balasan atas perbuatan dosa tersebut di akhirat. Barang siapa yang memohon ampun pada Alloh jalla wa ‘ala maka dia akan diampuni oleh Alloh. Barang siapa yang meminta pada Alloh agar Ia menutupi dampak dosanya di dunia dan akhirat maka Alloh akan menutupinya. Alloh akan menutup dampak dosa-dosanya dengan tidak memberikan balasan atas dosanya di dunia dan akhirat.
Kemudian Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: [Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu memenuhi seluruh langit]. Dosa tersebut memenuhi langit (awan yang tinggi) karena jumlahnya yang banyak dan bertumpuk-tumpuk.
Kemudian Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: [kemudian engkau memohon ampun pada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu]. Perbuatan ini adalah perbuatan seorang hamba yang bertaubat dan mencintai Robbnya dengan kecintaan yang mendalam. Karena Alloh -Yang Maha Agung, Yang Memiliki nama dan sifat yang mulia, indah dan sempurna, yang menguasai seluruh kerajaan, Dialah yang menguasai dan melindungi segala sesuatu, yang memiliki berbagai macam nama dan sifat yang agung dan mulia- akan mencintai hambanya dengan kecintaan seperti ini. Maka tidak diragukan lagi, hal ini akan membuat hati mencintai Robbnya, merasa hina di hadapan-Nya dan mendahulukan ridho-Nya daripada ridho selain-Nya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: [Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu memenuhi seluruh langit kemudian engkau memohon ampun padaku, niscaya Aku akan mengampunimu]. Dalam kalimat ini terdapat dorongan untuk senantiasa memohon ampunan. Jika engkau berbuat dosa maka beristigfarlah karena sesungguhnya tidak cukup istigfar kita walaupun dilakukan sebanyak 70 kali dalam setiap hari seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits. Dengan beristigfar dan menyesal maka Alloh akan mengampuni segala dosa.
Kemudian Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: "Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepadaku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau menjumpaiku dalam keadaan tidak berbuat syirik dengan apapun niscaya aku akan datang kepadamu dengan pengampunan sepenuh bumi pula". Jika anak Adam datang dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menjumpai Alloh dalam keadaan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya dan tidak berbuat syirik kepada-Nya baik syirik besar, syirik kecil maupun syirik yang tersembunyi, hatinya ikhlas hanya kepada Alloh, tidak ada pada hatinya kecuali Alloh dan tidak merasa cemas kecuali hanya kepada-Nya, tidak berharap kecuali hanya kepada-Nya, tidak berbuat syirik dalam bentuk apapun pada-Nya, niscaya Alloh jalla wa ‘ala akan mengampuni seluruh dosa-dosanya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: “kemudian engkau menjumpaiku dalam keadaan tidak berbuat syirik dengan apapun niscaya aku akan datang kepadamu dengan pengampunan sepenuh bumi pula”. Hal ini menunjukkan kebaikan dan besarnya rahmat Alloh pada para hamba-Nya.
Ya Alloh segala puji bagi-Mu atas nama-nama dan sifat-Mu. Ya Alloh segala puji bagi-Mu atas nikmat syariat Islam yang engkau berikan pada kami. Ya Alloh segala puji bagi-Mu atas nikmat diutusnya nabi-Mu Muhammad ‘alaihi sholatu wa sallam yang engkau berikan pada kami. Ya Alloh segala puji bagi-Mu atas anugerah yang engkau berikan pada kami untuk mengikuti jalan para salafushalih. Ya Alloh segala puji bagi-Mu atas anugerah-Mu pada kami berupa ampunan untuk segala dosa, menunjukkan pada perbuatan baik, dan mengampuni segala kesalahan. Ya Alloh segala puji bagi-Mu atas nikmat-Mu yang Agung. Ya Alloh segala puji bagi-Mu dan engkaulah yang paling berhak untuk mendapatkan seluruh pujian.

Menjadi Orang Asing di Dunia

Menjadi Orang Asing di Dunia



Dari Ibnu Umar radhiallohu ‘anhuma beliau berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir”. Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR. Bukhori)

Penjelasan
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi nasihat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Hadits ini dapat menghidupkan hati karena di dalamnya terdapat peringatan untuk menjauhkan diri dari tipuan dunia, masa muda, masa sehat, umur dan sebagainya.
Ibnu Umar berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku”, hal ini menunjukkan perhatian yang besar pada beliau, dan saat itu umur beliau masih 12 tahun. Ibnu Umar berkata: “beliau pernah memegang kedua pundakku”. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau penyeberang jalan”. Jika manusia mau memahami hadits ini maka di dalamnya terkandung wasiat penting yang sesuai dengan realita. Sesungguhnya manusia (Adam –pent) memulai kehidupannya di surga kemudian diturunkan ke bumi ini sebagai cobaan, maka manusia adalah seperti orang asing atau musafir dalam kehidupannya. Kedatangan manusia di dunia (sebagai manusia) adalah seperti datangnya orang asing. Padahal sebenarnya tempat tinggal Adam dan orang yang mengikutinya dalam masalah keimanan, ketakwaan, tauhid dan keikhlasan pada Alloh adalah surga. Sesungguhnya Adam diusir dari surga adalah sebagai cobaan dan balasan atas perbuatan maksiat yang dilakukannya. Jika engkau mau merenungkan hal ini, maka engkau akan berkesimpulan bahwa seorang muslim yang hakiki akan senantiasa mengingatkan nafsunya dan mendidiknya dengan prinsip bahwa sesungguhnya tempat tinggalnya adalah di surga, bukan di dunia ini. Dia berada pada tempat yang penuh cobaan di dunia ini, dia hanya seorang asing atau musafir sebagaimana yang disabdakan oleh Al Musthofa shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Betapa indah perkataan Ibnu Qoyyim rohimahulloh ketika menyebutkan bahwa kerinduan, kecintaan dan harapan seorang muslim kepada surga adalah karena surga merupakan tempat tinggalnya semula. Seorang muslim sekarang adalah tawanan musuh-musuhnya dan diusir dari negeri asalnya karena iblis telah menawan bapak kita, Adam ‘alaihissalam dan dia melihat, apakah dia akan dikembalikan ke tempat asalnya atau tidak. Oleh karena itu, alangkah bagusnya perkataan seorang penyair:
Palingkan hatimu pada apa saja yang kau cintai
Tidaklah kecintaan itu kecuali pada cinta pertamamu
Yaitu Alloh jalla wa ‘ala
Berapa banyak tempat tinggal di bumi yang ditempati seseorang
Dan selamanya kerinduannya hanya pada tempat tinggalnya yang semula
Yaitu surga
Demikianlah, hal ini menjadikan hati senantiasa bertaubat dan tawadhu kepada Alloh jalla wa ‘ala. Yaitu orang yang hati mereka senantiasa bergantung pada Alloh, baik dalam kecintaan, harapan, rasa cemas, dan ketaatan. Hati mereka pun selalu terkait dengan negeri yang penuh dengan kemuliaan yaitu surga. Mereka mengetahui surga tersebut seakan-akan berada di depan mata mereka. Mereka berada di dunia seperti orang asing atau musafir. Orang yang berada pada kondisi seakan-akan mereka adalah orang asing atau musafir tidak akan merasa senang dengan kondisinya sekarang. Karena orang asing tidak akan merasa senang kecuali setelah berada di tengah-tengah keluarganya. Sedangkan musafir akan senantiasa mempercepat perjalanan agar urusannya segera selesai.
Demikianlah hakikat dunia. Nabi Adam telah menjalani masa hidupnya. Kemudian disusul oleh Nabi Nuh yang hidup selama 1000 tahun dan berdakwah pada kaumnya selama 950 tahun,
“Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun” (QS Al Ankabut: 14)
Kemudian zaman beliau selesai dan telah berlalu. Kemudian ada lagi sebuah kaum yang hidup selama beberapa ratus tahun kemudian zaman mereka berlalu. Kemudian setelah mereka, ada lagi kaum yang hidup selama 100 tahun, 80 tahun, 40 tahun 50 tahun dan seterusnya.
Hakikat mereka adalah seperti orang asing atau musafir. Mereka datang ke dunia kemudian mereka pergi meninggalkannya. Kematian akan menimpa setiap orang. Oleh karena itu setiap orang wajib untuk memberikan perhatian pada dirinya. Musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah kelalaian tentang hakikat ini, kelalaian tentang hakikat dunia yang sebenarnya. Jika Alloh memberi nikmat padamu sehingga engkau bisa memahami hakikat dunia ini, bahwa dunia adalah negeri yang asing, negeri yang penuh ujian, negeri tempat berusaha, negeri yang sementara dan tidak kekal, niscaya hatimu akan menjadi sehat. Adapun jika engkau lalai tentang hakikat ini maka kematian dapat menimpa hatimu. Semoga Alloh menyadarkan kita semua dari segala bentuk kelalaian.
Kemudian Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhuma melanjutkan dengan berwasiat,
“Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada pagi hari jangan menunggu datangnya sore.”
Yaitu hendaklah Anda senantiasa waspada dengan kematian yang datang secara tiba-tiba. Hendaklah Anda senantiasa siap dengan datangnya kematian. Disebutkan dari para ulama salaf dan ulama hadits bahwa jika seseorang diberi tahu bahwa kematian akan datang kepadanya malam ini, maka belum tentu dia dapat menambah amal kebaikannya.
Jika seseorang diberi tahu bahwa kematian akan datang kepadanya malam ini, maka belum tentu dia dapat menambah amal kebaikannya. Hal ini dapat terjadi dengan senantiasa mengingat hak Alloh. Jika dia beribadah, maka dia telah menunaikan hak Alloh dan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Robbnya. Jika dia memberi nafkah pada keluarganya, maka dia melakukannya dengan ikhlas dan sesuai dengan syariat. Jika dia berjual beli, maka dia akan melakukan dengan ikhlas dan senantiasa berharap untuk mendapatkan rezeki yang halal. Demikianlah, setiap kegiatan yang dia lakukan, senantiasa dilandasi oleh ilmu. Ini adalah keutamaan orang yang memiliki ilmu, jika mereka bertindak dan berbuat sesuatu maka dia akan senantiasa melandasinya dengan hukum syariat. Jika mereka berbuat dosa dan kesalahan, maka dengan segera mereka akan memohon ampunan. Maka dia akan seperti orang yang tidak berdosa setelah beristigfar. Ini adalah kedudukan mereka. Oleh karena itu Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhuma mengatakan:

Luasnya Kekuasaan Allah Dan Ampunan-Nya

Luasnya Kekuasaan Allah Dan Ampunan-Nya
Kajian kita kali ini membahas tentang betapa luasnya kekuasaan dan ampunan Allah terhadap para hamba-Nya. Karena itu, hendaklah seorang Mukmin selalu bersangkaan baik terhadap Allah bahwa Dia pasti mengampuninya sebesar apa pun dosanya selama ia tidak berbuat syirik terhadap-Nya serta hendaknya tidak berputus asa dari mengharap rahmat-Nya.

Naskah Hadits
عَنْ أَبِي ذَرٍّ اْلغِفَارِي, عَنْ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم. فِيمَا رَوَىَ عَنِ اللّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَىَ أَنّهُ قَالَ: «يَا عِبَادِي إِنّي حَرّمْتُ الظّلْمَ عَلَىَ نَفْسِي. وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرّماً. فَلاَ تَظَالَمُوا.
يَا عِبَادِي كُلّكُمْ ضَالّ إِلاّ مَنْ هَدَيْتُهُ. فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ. يَا عِبَادِي كُلّكُمْ جَائِعٌ إِلاّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ. فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ.
يَا عِبَادِي كُلّكُمْ عَارٍ إِلاّ مَنْ كَسَوْتُهُ. فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ.
يَا عِبَادِي إِنّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللّيْلِ وَالنّهَارِ, وَأَنَا أَغْفِرُ الذّنُوبَ جَمِيعاً. فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرُ لَكُمْ.
يَا عِبَادِي إِنّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرّي فَتَضُرّونِي. وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي.
يَا عِبَادِي لَوْ أَنّ أَوّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ, وَإِنْسَكُمْ وَجِنّكُمْ. كَانُوا عَلَىَ أَتْقَىَ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ. مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً.
يَا عِبَادِي لَوْ أَنّ أَوّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ. وَإِنْسَكُمْ وَجِنّكُمْ. كَانُوا عَلَىَ أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ. مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً. يَا عِبَادِي لَوْ أَنّ أَوّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ. وَإِنْسَكُمْ وَجِنّكُمْ. قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي. فَأَعْطَيْتُ كُلّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ. مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمّا عِنْدِي إِلاّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ.
يَا عِبَادِي إِنّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ. ثُمّ أُوَفّيكُمْ إِيّاهَا. فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللّهَ. وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنّ إِلاّ نَفْسَهُ».

 
Dari Abu Dzarr al-Ghifary RA., dari Nabi SAW., dalam apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla bahwasanya Dia berfirman,
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya telah Aku haramkan atas diri-Ku perbuatan zhalim dan Aku jadikan ia diharamkan di antara kamu; maka janganlah kalian saling berbuat zhalim.

Wahai para hamba-Ku, setiap kalian adalah sesat kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk; maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian petunjuk.

Wahai para hamba-Ku, setiap kalian itu adalah lapar kecuali orang yang telah Aku beri makan; maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian makan.

Wahai para hamba-Ku, setiap kalian adalah telanjang kecuali orang yang telah Aku beri pakaian; maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian pakaian.

Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat kesalahan di malam dan siang hari sedangkan Aku mengampuni semua dosa; maka minta ampunlah kepada-Ku, niscaya Aku ampuni kalian.

Wahai para hamba-Ku sesungguhnya kalian tidak akan mampu menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian bisa membayakan-Ku dan tidak akan mampu menyampaikan manfa’at kepada-Ku sehingga kalian bisa memberi manfa’at pada-Ku.

Wahai para hamba-Ku, andaikata hati generasi terdahulu dan akhir dari kalian, golongan manusia dan jin kalian sama seperti hati orang paling takwa di antara kamu (mereka semua adalah ahli kebajikan dan takwa), maka hal itu (keta’atan yang diperbuat makhluk-red.,) tidaklah menambah sesuatu pun dari kekuasaan-Ku

Wahai para hamba-Ku, andaikata hati generasi terdahulu dan akhir dari kalian, golongan manusia dan jin kalian sama seperti hati orang paling fajir (bejad) di antara kalian (mereka semua ahli maksiat dan bejad), maka hal itu (kemaksiatan yang mereka perbuat-red.,) tidaklah mengurangi sesuatu pun dari kekuasaan-Ku.

Wahai para hamba-Ku, andaikata generasi terdahulu dan akhir dari kalian, golongan manusia dan jin kalian berada di bumi yang satu (satu lokasi), lalu meminta kepada-Ku, lantas Aku kabulkan permintaan masing-masing mereka, maka hal itu tidaklah mengurangi apa yang ada di sisi-Ku kecuali sebagaimana jarum bila dimasukkan ke dalam lautan.

Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya ia hanyalah perbuatan-perbuatan kalian yang aku perhitungkan bagi kalian kemudian Aku cukupkan buat kalian; barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, maka janganlah ia mencela selain dirinya sendiri.”
(HR.Muslim)

Urgensi Hadits

Imam Ahmad RAH., berkata, “Tidak ada hadits yang lebih mulai dari ini bagi Ahli Syam (karena para periwayatnya semua adalah orang-orang Syam).”

Beliau mengatakan hal tersebut karena betapa agungnya hadits tersebut yang mengandung banyak makna-makna mulia.

Kosa Kata

Makna kata “Perbuatan zhalim” : Kezhaliman artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, yaitu melampaui batas

Makna “Aku cukupkan buat kalian” : Yakni Aku membalas kalian berdasarkan perbuatan kalian baik kecil mau pun besar, yaitu di akhirat kelak

Pesan-Pesan Hadits

1. Hadits ini merupakan hadits Qudsi, yaitu Hadits yang diriwayatkan Rasulullah SAW dari Rabb-nya.
Perbedaan antara Hadits Qudsi dan al-Qur’an di antaranya adalah:
- Bahwa al-Qur`an al-Kariim adalah mukjizat mulai dari lafazhnya hingga maknanya sedangkan Hadits Qudsi tidak memiliki kemukjizatan apa pun
- Bahwa shalat tidak sah kecuali dengan al-Qur`an al-Kariim sedangkan Hadits Qudsi tidak sah untuk shalat
- Bahwa al-Qur`an al-Kariim tidak boleh diriwayatkan dengan makna sementara Hadits Qudsi boleh

2. Hadits tersebut menjelaskan bahwa Allah Ta’ala Maha Suci dari semua sifat kekurangan dan cela, di antaranya berbuat zhalim, di mana Dia berfirman, “Sesungguhnya telah Aku haramkan atas diri-Ku perbuatan zhalim.” Dia juga berfirman dalam al-Qur`an, “Dan Aku sekali-kali tidak menzhalimi hamba-hamba-Ku.” (Qaaf:29) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri.” (Yuunus:44)

3. Allah Ta’ala melarang para hamba-Nya berbuat zhalim antar sesama mereka sebab perbuatan zhalim diharamkan dan akibatnya amat fatal baik di dunia mau pun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (Huud:102) Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perbuatan zhalim itu adalah kegelapan di hari Kiamat.” (HR.al-Bukhary dan Muslim) Dalam sabda yang lain, “Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mengulur-ulur bagi pelaku kezhaliman hingga bila Dia menyiksanya, Dia tidak akan membuatnya lolos (dapat menghindar lagi).” (HR.al-Bukhary)

4. Kezhaliman ada beberapa macam:
a. Zhalim terhadap diri sendiri dan yang paling besarnya adalah berbuat syirik terhadap Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar.” (Luqman:13) Di antaranya lagi adalah melakukan perbuatan maksiat dan berbuat dosa

b. Perbuatan zhalim seorang hamba terhadap orang lain seperti mengambil hak mereka, menyakiti, menggunjing (ghibah), mengadu domba dan membicarakan mereka tanpa hak.

5. Hadits tersebut juga menjelaskan betapa kebutuhan para hamba kepada Allah Ta’ala. Karena itu, hendaknya mereka berlindung kepada-Nya, memohon, meminta pertolongan, meminta ma’af dan ampunan kepada-Nya. Memohon kepada-Nya agar diberi ampunan, rahmat dan rizki. Siapa pun manusianya, maka tidak mungkin dia tidak membutuhkan Rabbnya.

6. Semua manusia pasti melakukan kesalahan. Karena itu, bertindak keliru atau memiliki keterbatasan bukanlah suatu ‘aib akan tetapi yang dikatakan ‘aib itu adalah terus-menerus di dalam kesalahan ini, membiarkannya dan tidak mempedulikannya. Hendaknya seorang hamba memandang kepada keagungan Dzat Yang ia maksiati dan lakukan kesalahan terhadap-Nya dan janganlah memandang kepada kecilnya suatu kemaksiatan. Dari itu, hendaknya ia bersegera untuk bertobat dan kembali kepada-Nya serta meminta ampunan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah wahai kaum Mukmiin, semoga kamu beruntung.” (an-Nuur:31) Dan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dial-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar;53)

7. Betapa besarnya ampunan Allah dan betapa luas kekuasaan-Nya. Sekalipun semua makhluk berkumpul maka sama sekali mereka tidak dapat mempengaruhi bertambah atau berkurangnya kekuasaan-Nya tersebut.

8. Seorang Muslim hendaknya berhati-hati dalam semua perbuatannya sehingga ia bisa membersihkan dan memperbaikinya. Semuanya sudah diperhitungkan atasnya, dicatat di dalam lembaran amal-amalnya baik kecil mau pun besar. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya, [7]. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.” (az-Zalzalah:7-8)

9. Hendaknya seorang Muslim menghitung dirinya sendiri di dalam kehidupan ini sebelum dirinya diperhitungkan nanti pada hari Kiamat yang karenanya dia akan mencela dirinya sendiri, mencercanya, menyesali namun penyesalan yang tiada guna.

Umar bin al-Khaththab RA berkata, “Hitunglah dirimu sebelum dirmu diperhitungkan dan timbanglah ia sebelum dirimu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk Hari ‘al-‘Ardl al-Akbar’ (sidang terbesar terhadap kaum Mukminin pada hari Kiamat).” (HR.at-Turmudzy secara mu’allaq. Ibn Katsir berkata, “Di dalam Musnad ‘Umar terhadap atsar yang masyhur namun terdapat Inqithaa’ (terputus pada sanadnya)”. Wallahu a’lam

Rabu, 26 Oktober 2011

Kewajiban Mengikuti Syari’at dan Larangan Melakukan Bid‘ah


Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini, maka hal itu tertolak.” Dalam riwayat yang lain –Rasulullah- bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan tanpa ada dasar dari urusan (agama) kami, maka ia tertolak.”

TAKHRIJ HADITS RINGKAS

Lafal yang pertama diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no. 2550) dan Muslim (hadits no. 1718). Sedangkan lafal yang kedua diriwayatkan oleh Muslim (hadits no. 1718), sedangkan Bukhari menyebutkannya dalam salah satu bab dalam Shahih-nya di juz ke-6 halaman 2675.

BIOGRAFI PERIWAYAT HADITS ‘AISYAH –radhiyallahu ‘anha-
 
Ia adalah ‘Aisyah putri khalifah-Rasulullah Abu Bakar (Abdullah) bin Abu Quhafah (Utsman) bin ‘Amir bin ‘Amr, dari Bani Taim keturunan suku Quraisy. Ibunya bernama Ummu Ruman binti Amir bin ‘Uwaimir Al-Kinaniyah.
Ia lahir pada tahun ke-4 atau ke-5 dari kerasulan Nabi. Pada usia 6 atau 7 tahun ia dinikahi oleh Rasulullah setelah istri beliau yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, wafat, tepatnya 2 atau 3 tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah. Rasulullah baru hidup serumah dengannya ketika dia berusia 9 tahun, yaitu pada bulan Syawwal tahun ke-2 H sepulangnya beliau dari Perang Badar Kubra. Sebagai istri Rasulullah, ia pun mendapat sebutan Ummul Mu’minin. Ia merupakan isteri yang paling utama dan paling dicintai oleh Rasulullah dibandingkan dengan istri-istri beliau yang lain selain Khadijah –radhiyallahu ‘anha- (karena ada perbedaan pendapat dalam hal siapakah yang lebih utama antara ‘Aisyah dan Khadijah). Dan ketika Rasulullah wafat, usianya baru mencapai 18 tahun.
Kun-yah-nya adalah Ummu Abdillah, nisbat kepada Abdullah bin az-Zubair (bin Al-‘Awwam), anak Asma’–kakaknya seayah–. Semenjak menjadi pendamping Rasulullah, dia sekaligus menjadi murid beliau. Dia banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah, bahkan dia termasuk di antara tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi. Sedangkan di kalangan wanita, secara mutlak dia adalah wanita yang paling fakih dalam hal agama.
‘Aisyah juga digelari Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq. Ia mendapat pembelaan dari Allah ketika difitnah telah berbuat tidak senonoh dengan salah seorang sahabat Nabi yang bernama Shafwan bin Mu’aththal yang dikenal sebagai kisah al-Ifki dan Allah mengabadikan pembelaan-Nya terhadap ‘Aisyah dalam surat An-Nur ayat 11 dan beberapa ayat sesudahnya.
Banyak sekali keutamaan-keutamaan yang disandang oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-. Salah satunya adalah yang tersebut di dalam satu hadits yang shahih dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Rasulullah pernah berkata, “Keutamaan Aisyah atas para wanita yang lain bagai keutamaan tsarid (bubur daging) atas jenis makanan yang lain.” Diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no 3558 dan lainnya) dan Muslim (hadits no. 2431 dan 2446)
Ia wafat pada malam Selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57 atau 58 H, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’. Lihat biografinya dalam Al-Ishabah (VIII/16), Al-Isti’ab (IV/1881), Siyar A’lam An-Nubala (II/135), Taqrib At-Tahdzib (I/750), Ats-Tsiqat (III/3230) dan kitab-kitab biografi lainnya. –Radhiyallahu ‘anha wa ardhaha-

MAKNA KATA DAN KALIMAT

(أَحْدَثَ)
bermakna (اِخْتَرَعَ = membuat/menciptakan –sesuatu yang baru-) Lihat Fathul Bari (V/357), cet. Dar Ar-Rayyan li At-Turots, Kairo, th. 1407 H.
(أَمْرُِنَا) maknanya adalah (دِيْننَا = agama kami) atau (شَرْعُنَا = syariat kami) Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/163), cet. Daar Ibnu Al-Jauzi, Dammam-KSA, th. 1415 H.
(رَدٌّ) maknanya (مَرْدُوْدٌ = tertolak/tidak diterima) Lihat Fathul Bari (V/357); dan Syarah Shahih Muslim (XII/15) cet. Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, th. 1415 H.
Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa siapa saja yang memunculkan atau membuat suatu perkara baru dalam agama atau syariat ini yang tidak ada asal atau dasar darinya, maka perkara itu tertolak. Secara tekstual hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada dasarnya dari syariat berarti amalan tersebut tertolak. Dan secara kontekstual menunjukkan bahwa setiap amalan yang ada dasarnya dari syariat berarti tidak tertolak atau dengan kata lain bahwa amalan tersebut diterima. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/163) dan Qawaid wa Fawaid (hal. 76).
Lafal yang kedua lebih umum dari yang pertama Lihat Fathul Bari (V/357)., dan di dalamnya terkandung tambahan makna, yaitu bahwa bila ada seseorang yang melakukan bid‘ah yang sudah ada sebelumnya lalu mengatakan, “Saya tidak mengadakan perkara baru,” maka perkataannya tersebut terbantahkan oleh lafal yang kedua yang secara jelas menolak segala bid‘ah yang dibuat-buat, baik yang baru diadakan maupun yang sudah dibuat sebelumnya. Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15).
KEDUDUKAN HADITS Lihat Qawaid wa Fawaid (hal. 75).
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini termasuk di antara pokok-pokok serta kaidah landasan ajaran agama Islam.” Lihat Fathul Bari (V/357).
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini termasuk di antara –hadits-hadits- yang patut dihapal (dijaga), digunakan untuk memberantas segala kemungkaran, serta patut untuk disebarkan dalam berdalil dengannya.” Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15).
Ath-Thuruqi berkata, “Hadits ini pantas disebut sebagai separuh dalil-dalil syariat karena yang dituntut dalam berdalil adalah menetapkan hukum atau menampiknya, dan hadits ini adalah kunci terbesar dalam menetapkan atau menampik setiap hukum syariat.” Lihat Fathul Bari (V/357).
Ibnu Rajab berkata, “Dan hadits ini merupakan landasan yang agung di antara landasan-landasan ajaran Islam dan ia merupakan timbangan bagi amalan lahir. Sebagaimana bahwa hadits(اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ) Telah dibahas dalam majalah Fatawa volume 1 dan 2 tahun I.
adalah timbangan bagi amalan batin.” Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/162).

FAEDAH-FAEDAH

Hadits ini termasuk di antara perkataan-perkataan Nabi yang singkat namun padat isinya (Jawami’ul Kalim) Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15)..
Banyak faedah yang dapat kita ambil darinya, dan yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Kewajiban Mengikuti Syariat dalam Beragama
Secara kontekstual (tersirat) hadits ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan agama, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, muamalah, maupun yang lainnya, kita wajib untuk mengikuti syariat yang Allah turunkan kepada Nabi yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan wajib pula mengembalikan segala permasalahan kepada keduanya. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah dalil-dalil berikut :

a. Dari Al-Qur’an
Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’:59)
Firman Allah :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr:7)

b. Dari As-Sunnah
Sabda Nabi :
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149). Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149).
sabda Nabi dalam hadits Al-‘Irbadh bin Sariyah :
“Berpegangteguhlah kalian dengan Sunnah-ku dan sunnah para Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk (setelahku).”

2. Larangan Mengadakan Bid‘ah dalam Agama
Adapun secara tekstual (tersurat), hadits ini menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang diada-adakan dalam agama tidaklah memiliki dasar dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
Ibnu Hajar berkata, “Dan (hadits ini) mengandung penolakan terhadap segala perkara (bid‘ah) yang diada-adakan dan bahwa larangan di sini menunjukkan –bahwa perkara tersebut- batil karena segala perkara yang dilarang bukanlah termasuk bagian dari (perkara urusan) agama sehingga wajib untuk ditolak.”
Bid‘ah pada hakikatnya adalah ‘sesuatu (yang baru) yang diada-adakan dalam agama yang menandingi cara yang –telah- disyari’atkan dengan tujuan agar mendapat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah. Padahal kita telah diperintahkan untuk ber-ittiba’ (mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasul ) dan dilarang untuk melakukan bid‘ah karena agama Islam ini telah sempurna sehingga sudah cukup dengan apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang telah diterima oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Mukhtarat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz (hal.271), cet. Jam’iyyah Ihya At-Turots, th. 1418 H.
Maka seorang yang membuat atau melakukan bid‘ah berarti telah berbuat lancang terhadap Allah sebagai pemilik tunggal hak dalam hal membuat syariat. Dan seolah-olah dia mengatakan bahwa syariat ini belum sempurna, dan bahwasanya masih ada sesuatu yang harus atau perlu ditambah atau dikoreksi karena kalau dia meyakini akan kesempurnaan syariat dari segala sisinya, niscaya dia tidak akan berbuat bid‘ah dan tidak akan menambah atau mengoreksinya.
Ibnu Al-Majisun berkata, aku mendengar Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang berbuat bid‘ah dalam Islam dan dia memandangnya baik, berarti dia telah menganggap bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah (yakni tidak menyampaikannya secara sempurna), karena Allah telah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Q.S. Al-Maidah:3)
Maka apa yang pada hari itu (masa nabi) bukan merupakan agama, berarti bukan pula merupakan agama pada hari ini.” Lihat Al-I’tisham (1/64) cet. Daar Ibnu ‘Affan, Khubar-KSA, th. 1418 H, dan lihat juga risalah Al-Bid‘ah Dhawabithuha wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah (hal. 10).

3. Macam-macam Bid‘ah

Melihat kepada jenisnya, bid‘ah itu terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Bid‘ah haqiqiyyah, yaitu bid‘ah yang tidak ada satu pun dalil syar’i yang menunjukkannya. Tidak dari Kitab, Sunnah maupun ijma’, seperti mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, mengadakan peryaan maulud nabi dan tahun baru.

b. Bid‘ah idhafiyyah, yaitu memasukkan ke dalam syari’at sesuatu yang bersumber dari diri si pelaku bid‘ah sehingga mengeluarkan syari’at dari asal karena sebab penambahan yang dilakukan si pembuat bid‘ah yang dari satu sisi disyari’atkan tetapi si pelaku bid‘ah memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bersumber dari dirinya sehingga mengeluarkannya dari asal disyari’atkannya, karena perbuatan si pelaku bid‘ah tadi. Kebanyakan bid‘ah yang tersebar di tengah-tengah masyarakat adalah dari jenis ini. Seperti shaum (puasa), ia adalah ibadah yang disyari’atkan, namun bila seseorang mengatakan, “Saya akan berpuasa sambil berdiri dan tidak akan duduk di terik matahari dan tidak akan berteduh,” maka (tambahan persyaratan yang ia tetapkan itulah bid‘ahnya sehingga puasa yang pada awalnya disyari’atkan menjadi tidak disyari’atkan dikarenakan bid‘ah yang ia tambahkan dalam puasa tersebut). Jadilah dia telah berbuat bid‘ah Lihat Al-Bid‘ah Dhawabithuha wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah (hal. 14-15) dan lihat juga pembahasan ini dalam Al-I’tisham (1/367).
Dan dari sisi objeknya, bid‘ah tersebut bisa terjadi dalam semua perkara agama, diantaranya :
Dalam aqidah, seperti bid‘ahnya kelompok-kelompok sesat semisal Khawarij Kelompok yang keluar dari kepempinan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Rafidhah (Sekte Syi’ah yang amat melampaui batas, yang diantaranya mengatakan bahwa para sahabat Nabi telah merubah dan mengurangi Al-Qur’an :
a. Jahmiyyah Kelompok pengikut Jahm bin Shafwan, yang diantaranya mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk., dan yang lainnya.
b. Dalam ibadah, seperti berdzikir dengan tatacara dan bentuk tertentu dan dilakukan secara berjama’ah serta satu suara (koor).
c. Dalam Mu’amalah, seperti menikahi wanita yang haram dinikahi, baik karena adanya hubungan nasab, satu susuan atau yang lainnya.

Adapun dari sisi akibatnya dapat dibagi dua, yaitu:
a. Bid‘ah mukaffirah, yaitu yang dapat menyebabkan pelakunya jatuh dalam kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam.
b. Bid‘ah mufassiqah, yaitu yang pelakunya dihukumi dengan kefasikan atau dalam kategori kemaksiatan, tidak mengeluarkannya dari Islam.

Seorang penuntut ilmu hendaknya berhati-hati dan jangan terburu-buru menolak atau tidak menerima suatu amalan lalu berdalil dengan hadits ini, hendaknya dia melihat dulu perkataan para ulama tentang masalah tersebut, memperhatikan batasan-batasan (dhawabith) dan kaidah-kaidah (ushul) yang dengan itu semua dia bisa menghukumi apakah memang amalan tersebut tertolak dan tidak diterima.

Kesimpulan :
1. Islam adalah agama yang sempurna sehingga tidak butuh kepada penambahan, pengurangan atau koreksi.
2. Mengikuti syari’at (ittiba’) merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang.
3. Bid‘ah merupakan salah satu pembatal amal ibadah seseorang dan dapat menjerumuskannya dalam kesesatan.
-Wallahu A’lam bish-shawab

Kewajiban Mengikuti Sunnah

Kewajiban Mengikuti Sunnah



Dari Abu Muhammad Abdulloh bin Amr bin Al-Ash rodhiallohu ‘anhuma beliau berkata: Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” (hadits hasan sahih yang kami riwayatkan dari Kitabul Hujjah dengan sanad yang sahih)

Penjelasan:
Hadits ini adalah hadits yang terkenal dan hadits ini terdapat dalam Kitab At-Tauhid. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”. Hadits ini berderajat hasan sebagaimana yang dihasankan Imam Nawawi di sini. Bahkan beliau berkata ini adalah hadits yang hasan shahih.
Hadits ini dikatakan sebagai hadits hasan karena hadits ini sesuai dengan makna ayat Al Quran yaitu:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An Nisaa: 65)
Menganggap sebuah hadits memiliki derajat hasan karena memiliki makna yang sesuai dengan ayat Al Quran adalah mazhab yang dianut oleh banyak ulama terdahulu seperti Ibnu Jarir Ath Thobari dan sebagian ulama dan imam ahli hadits.
Perkataan nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits ini: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” memiliki makna bahwa keimanan yang sempurna tidak akan terwujud sampai hawa nafsu dan harapan seseorang mengikuti apa yang dibawa oleh Al Musthofa (nabi Muhammad) shalallahu ‘alaihi wa salam. Hal ini juga bermakna bahwa seseorang wajib mendahulukan kehendak Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan kehendaknya serta mendahulukan syariat Rosululloh shalallahu ‘alaihi sallam dari pada hawa nafsunya. Jika terdapat pertentangan antara harapannya dengan sunnah, maka dia akan mendahulukan sunnah. Hal ini telah dijelaskan pada banyak ayat Al Quran dan hadits, seperti firman Alloh jalla wa ‘ala:
Katakanlah: “Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (QS At Taubah: 24)
Maka seseorang wajib untuk lebih mencintai Alloh dan Rosul-Nya dibandingkan selain keduanya. Jika seseorang sudah berbuat demikian, maka hawa nafsunya sudah mengikuti apa yang dibawa oleh Al Musthofa shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka makna perkataan Rosululloh shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian” adalah meniadakan kesempurnaan keimanan yang wajib. Makna ini adalah makna zhohir yang sesuai dengan kaidah yang telah kita pelajari sebelumnya. Pembicaraan tentang hal ini secara lebih lengkap terdapat dalam penjelasan Kitab At Tauhid.

Keutamaan Orang yang Mengetahui dan Mengajar

Keutamaan Orang yang Mengetahui dan Mengajar



Dari Abi Musa Radhiallahu Anhu, katanya Nabi Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan, yang oleh karena itu Allah mengutus aku untuk menyampaikanya, seperti hujan lebat jatuh ke bumi; bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak. Ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam. Ada pula hujan yang jatuh kebagian lain, yaitu di atas tanah yang tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah perumpamaan orang yang belajar agama, yang mau memanfaatkan sesuatu yang oleh karena itu Allah mengutus aku menyampaikannya, dipelajarinya dan diajarkannya. Begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau memikirkan dan mengambil peduli dengan petunjuk Allah, yang aku diutus untuk menyampaikannya."Abu Abdillah berkata, bahwa Ishaq berkata," Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi air, tapi tidak menyerap." (Arti dari Hadts No 79 - Kitab Fathu Bari)
Kandungan Hadits

Tentang hadits diatas, setelah memaparkan keterangan yang menjelaskan hadits diatas dari segi bahasa (arab), Ibnu Hajar Al-Asqalani -penulis kitab fikih (klasik) Bulughul Maram- dalam kitabnya Fathul Bari, menjelaskan :

Al Qurtubi dan yang lainnya mengatakan bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang diperlukan ketika mereka membutuhkannya. Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.

Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.

Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan, akan tetapi dia mengejarkannya untuk orang lain, maka bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengerjakannya seperti yang dia dengar." Diantara mereka juga ada yang mendengar ilmu namun tidak menghafal atau menjaganya serta mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilignya.

Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua, adalah karena keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga, karena tercela dan tidak bermanfaat.

Kemudian dalam setiap perumpamaan terdiri dari dua kelompok. Perumpamaan pertama telah kita jelaskan tadi, sedang perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama (Islam) namun tidak mendengarkan ilmu atau mendengarkan tapi tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan Nabi Shallallahu Alaihi was Sallam dalam sabdanya, "Orang yang tidak mau memikirkan" atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.

Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tapi dia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir diatasnya tapi tidak dapat memanfaatkannya. Hal ini diisyaratkan dengan perkataan beliau, "Dan tidak perduli dengan petunjuk Allah".

Ath-Thibi mengatakan, "Manusia terbagi menjadi dua. Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkan kepada orang lain. Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan untuk dirinya, tapi dia mengajarkan kepada orang lain. Menurut saya kategori pertama masuk dalam kelompok pertama, karena secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatnya berbeda. Begitu pula dengan tanaman yang tumbuh, diantaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk dalam kelompok kedua seperti yang telah kita jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal wajib maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya. Orang semacam ini termasuk dalam, man lam yar fa' bi dzalika ro san. Wallahu a'lam"

nterakasi Seorang Hamba Terhadap Rabb, Dirinya Dan Orang Lain

Interakasi Seorang Hamba Terhadap Rabb, Dirinya Dan Orang Lain

 

Hadits yang kita kaji kali ini merupakan hadits yang agung dan patut untuk direnungi sekaligus diamalkan sebab berisi tiga hal penting; bagaimana interaksi seorang hamba dengan Rabbnya, interaksinya dengan dirinya sendiri dan interaksinya dengan orang lain.
Karena kehidupan kita tidak lepas dari tiga hal itu, maka selayaknya memahami kandungan dari hadits ini sehingga dapat menjadi bekal di dalam meniti kehidupan.

Naskah Hadits
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قاَلَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ." (رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح)
Dari Abu Dzarr, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Takutlah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah (balaslah) keburukan dengan kebaikan niscaya dia akan menghapusnya serta pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR.at-Turmudzy, yang berkomentar: Hadîts Hasan Shahîh)

Takhrij Singkat

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Turmudzy yang menilainya Hasan, Imam Ahmad dan ad-Dârimy.

Namun di dalam sanadnya terdapat jalur yang terputus sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Rajab di dalam syarahnya.

Pesan Hadits

Di antara pesan hadits di atas:
1. Ia merupakan hadits yang amat agung kedudukannya dan padat maknanya karena mengandung prinsip-prinsip ba-gaimana berinteraksi dengan Allah dan juga dengan sesama makhluk.

2. Bertakwa kepada Allah merupakan wasiat orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian serta merupakan sebaik-baik wasiat yang harus dipesankan oleh seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, ‘bertakwalah kepada Allah.’” (Q.s.,an-Nisâ`:131)

Makna Takwa adalah melakukan keta’atan dengan mengharap pahala dari Allah dan menjauhi berbuat maksiat kepada-Nya karena takut jatuh ke dalam siksa Allah.

Takwa artinya melakukan perintah Allah sehingga Dia tidak kehilanganmu kala memeintahkanmu dan menjauhkan larangan-Nya sehingga Dia tidak melihatmu kala melarang-mu.

Buah Ketakwaan Kepada Allah

3. Ketakwaan kepada Allah memiliki buah-buah yang amat besar baik di dunia maupun di akhirat, di antaranya:
a. Sebagai faktor keselamatan dari adzab Allah. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa.” (Q.s.,Maryam:72)

b. Sebagai faktor adanya pertolongan dan penjagaan Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.s.,an-Nahl:128)

c. Sebagai faktor yang memastikan masuk surga. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai. Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (Q.s.,al-Qamar:54-55)

d. Merupakan salah satu faktor keterjagaan dari tipu daya musuh. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Jika kamu bersabar dan bertakwa niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudlaratan kepadamu.”(Q.s.Ali ‘Imrân:120)

e. Sebagai faktor meraih rizki, baik dalam waktu yang cepat (segera) ataupun dalam waktu yang lambat (yang akan datang). Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”(Q.s.,ath-Thalâq:2,3)

f. Sebagai faktor keterhindaran dari mala bencana dan berbagai krisis. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” (Q.s.,ath-Thalâq:2)

g. Termasuk salah satu dari penghapus dosa-dosa. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah nsicaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.”(Q.s.,ath-Thalâq:5)

Faktor-Faktor Meraih Ketakwaan

4. Di antara faktor meraih ketakwaan kepada Allah adalah:
- Menghadirkan rasa takut kepada Allah baik secara ter-sembunyi maupun terang-terangan
- Mengamalkan hal-hal yang wajib
- Banyak berdoa
- Tidak bertransaksi dengan hal yang haram atau pun syubuhat

Al-Hasan al-Bashry berkata, “Ketakwaan masih tetap ada pada orang-orang yang bertakwa hingga mereka meninggalkan banyak hal-hal yang halal karena takut tergelincir ke dalam hal yang haram.”

Pesan-Pesan Lainnya

5. Manusia terkadang tergelincir, berbuat keliru, mengalami masa stagnan dalam berbuat baik atau teledor dalam melakukan hak Allah. Oleh karena itu, Allah telah menjadikan jalan bagi siapa saja yang mengalami hal demikian untuk merenungi apa yang telah terjadi, yaitu bersegera melakukan perbuatan baik. Alalh Ta’ala berfirman, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.”(Q.s.,Hûd:114). Perbuatan ta’at apa saja atas izin Allah dapat memecahkan gelapnya ke-maksiatan.

6. Islam sangat menggalakkan terjadinya hubungan sosial antar sesama manusia berdasarkan pergaulan yang baik dan akhlak yang mulia. Hal itu akan berdampak positif terhadap individu dan masyarakat. Oleh karena itu, banyak sekali nash-nash al-Qur’an maupun hadits yang menganjurkan agar berinteraksi melalui akhlak seperti ini. Allah Ta’ala berfirman, “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Q.s.,al-a’râf:199) dan firman-Nya, “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”(Q.s.,Fushshilat:34)

7. Seorang muslim wajib meneladani Rasulullah SAW., yang telah dijelaskan Allah sifatnya dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”(Q.s.,al-Qalam:4). Dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala telah memerintahkan agar meneladani beliau SAW., “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat.” (Q.s.,al-Ahzâb:21)

8. Sebaiknya seorang muslim berusaha mendapatkan akhlak yang baik dan berpekerti dengannya sebab ilmu hanya dapat diraih dengan belajar dan kelemahlembutan hanya dapat diraih dengan berlemahlembut. Dan, di antara penopangnya adalah membaca Kitabullah, bergaul dengan orang-orang shalih dan menjauihi majlis-majlis yang tidak baik.

Hukum Bid’ah

Bilamana seorang Muslim ingin amalannya diterima oleh Allah Ta'ala, maka hendaknya dia melakukannya sesuai dengan yang diperintahkan-Nya dan Rasul-Nya dan tidak mengada-adakan sesuatu ibadahpun dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya padahal tidak ada landasannya.
Sebab, amalan seperti ini pasti tertolak karena termasuk perbuatan bid'ah. Nah, apa hukumnya bid'ah itu? Dan apa implikasinya?


Naskah Hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أحْدَثَ فيِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ.
وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia tertolak." (HR.al-Bukhari)
Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak."

Urgensi Hadits
Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata, "Hadits ini layak sekali untuk diingat dan dijadikan sebagai saksi/bukti terhadap kebatilan semua perbuatan munkar."

Beberapa Arahan Hadits
  • Hadits ini mengandung makna bahwa Dienullah adalah dien yang sempurna, tidak menerima penambahan ataupun pengurangan. Dan inilah yang dapat disimpulkan dari firman-Nya (artinya), "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu." (Q.s.,al-Mâ`idah:3). Oleh karena itu, wajib bagi seorang Muslim untuk mengamalkan wahyu yang berasal dari Allah melalui Rasul-Nya, tanpa menambah atau menguranginya.

     
  • Barangsiapa yang menambahkan sesuatu ke dalam Dienullah padahal bukan berasal darinya, maka ia tidak diterima di sisi Allah dan tertolak atas pelakunya. Barangsiapa, misalnya, yang beribadah kepada Allah Ta'ala dengan melakukan shalat yang tidak disyari'atkan-Nya, maka ia tidak akan diterima, pelakunya berdosa dan dijuluki sebagai Mubtadi' (pelaku bid'ah).

     
  • Seorang Muslim wajib menyuriteladani Rasulullah di dalam semua perbuatan, prilaku dan tindakannya.

     
  • Hukum asal di dalam semua praktik ibadah itu adalah bersifat Tawqîfiyyah. Artinya, bahwa pentasyri'an (penggodokan syari'at) hanya sebatas apa yang dibawa oleh Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, disertai penyerahan diri atas hal itu dan meyakini amalan ini sebagai pembawa kebaikan yang mutlak, baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman (artinya), "Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (Q.s.,an-Nisâ`:65)

     
  • Suatu ibadah tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat:
    Pertama, Menjadikannya ikhlash semata-mata karena Allah Ta'ala.
    Kedua, Hendaknya ia sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits dalam kajian ini.

     
  • Siapa saja yang telah keluar dari manhaj Ittibâ' (mengikuti) Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam maka berarti dia telah masuk ke dalam manhaj Ibtidâ' (berbuat bid'ah) dan Ihdâts (mengada-ada) di dalam agama. Padahal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam telah bersabda (artinya), "Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sementara seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu berada di neraka." (HR.an-Nasa`iy dari hadits yang diriwayatkan Jabir bin 'Abdullah)

     
  • Diantara implikasi dari perbuatan Bid'ah adalah:
       
    • Menuduh Rasullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam telah menyembunyikan sesuatu terhadap umat manusia dengan tidak menyampaikannya kepada mereka.
       
    • Siapa saja yang berjalan di atas rel manhaj Ibtidâ' , berarti dia telah menganggap baik manhaj ini dan telah menjadi orang yang menambahi sesuatu yang tidak diizinkan Allah di dalam dien-Nya.
       
    • Pelaku bid'ah selalu berupaya keras di dalam mengamalkan kebid'ahannya dan hal ini semua akan hilang percuma bahkan akan menjadi dosa yang akan dipikulnya kelak.

Hadits Shahih tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an

Hadits Shahih tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an



Seseorang bertanya kepada Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani:
"Ada sebagian orang yang berkata bahwa apabila terdapat sebuah hadits yang bertentangan dengan ayat Al-Qur'an maka hadits tersebut harus kita tolak walaupun derajatnya shahih. Mereka mencontohkan sebuah hadits :"Sesungguhnya mayit akan disiksa disebabkan tangisan dari keluarganya." Mereka berkata bahwa hadits tersebut ditolak oleh Aisyah Radliyallahu 'anha dengan sebuah ayat dalam Al-Qur'an surat Fathir ayat 18: "Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain." Bagaimana kita membantah pendapat mereka ini ?
 
Jawaban Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani:
Mengatakan ada hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur'an adalah kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan Allah yang mengutus beliau (bahkan sangat tidak mungkin hal itu terjadi).
Dari segi riwayat/sanad, hadits di atas sudah tidak terbantahkan lagi ke-shahih-annya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Umar bin Khattab dan Mughirah bin Syu'bah, yang terdapat dalam kitab hadits shahih (Bukhari dan Muslim).

Adapun dari segi tafsir, hadits tersebut sudah ditafsirkan oleh para ulama dengan dua tafsiran sebagai berikut:
  • Hadits tersebut berlaku bagi mayit yang ketika hidupnya dia mengetahui bahwa keluarganya (anak dan istrinya) pasti akan meronta-ronta (nihayah) apabila dia mati. Kemudian dia tidak mau menasihati keluarganya dan tidak berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. Orang seperti inilah yang mayitnya akan disiksa apabila ditangisi oleh keluarganya.

    Adapun orang yang sudah menasihati keluarganya dan berpesan agar tidak berbuat nihayah, tapi kemudian ketika dia mati keluarganya masih tetap meratapi dan menangisinya (dengan berlebihan), maka orang-orang seperti ini tidak terkena ancaman dari hadits tadi.

    Dalam hadits tersebut, kata al-mayyit menggunakan hurul alif lam (isim ma'rifat) yang dalam kaiah bahasa Arab kalau ada isim (kata benda) yang di bagian depannya memakai huruf alif lam, maka benda tersebut tidak bersifat umum (bukan arti dari benda yang dimaksud). Oleh karena itu, kata "mayit" dalam hadits di atas adalah tidak semua mayit, tapi mayit tertentu (khusus). Yaitu mayit orang yang sewaktu hidupnya tidak mau memberi nasihat kepada keluarganya tentang haramnya nihayah.

    Demikianlah, ketika kita memahami tafsir hadits di atas, maka kini jelaslah bagi kita bahwa hadits shahih tersebut tidak bertentangan dengan bunyi ayat:"Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain."
    Karena pada hakikatnya siksaan yang dia terima adalah akibat kesalahan/dosa dia sendiri yaitu tidak mau menasihati dan berdakwah kepada keluarga. Inilah penafsiran dari para ulama terkenal, di antaranya Imam An-Nawawi.
     
  • Adapun tafsiran kedua adalah tafsiran yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah di beberapa tulisan beliau bahwa yang dimaksud dengan azab (siksaan) dalam hadits tersebut adalah bukan adzab kubur atau azab akhirat melainkan hanyalah rasa sedih dan duka cita. Yaitu rasa sedih dan duka ketika mayit tersebut mendengar ratap tangis dari keluarganya.

    Tapi menurut saya (Syaikh Al-Albani), tafsiran seperti itu bertentangan dengan beberapa dalil. Di antaranya adalah hadits shahih riwayat Mughirah bin Syu'bah: "Sesungguhnya mayit itu akan disiksa pada hari kiamat disebabkan tangisan dari keluarganya."

    Jadi menurut hadits ini, siksa tersebut bukan di alam kubur tapi di akhirat, dan siksaan di akhirat maksudnya adalah siksa neraka, kecuali apabila dia diampuni oleh Allah, karena semua dosa pasti ada kemungkinan diampuni oleh Allah kecuali dosa syirik.Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa' : 48).
Banyak hadits-hadits shahih dan beberapa ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa seorang mayit itu tidak akan mendengar suara orang yang masih hidup kecuali saat tertentu saja. Di antaranya (saat-saat tertentu itu) adalah hadits riwayat Bukhari dari shahabat Anas bin Malik Radliyallahu 'anhu:"Sesungguhnya seorang hamba yang meninggal dan baru saja dikubur, dia mendengar bunyi terompah (sandal) yang dipakai oleh orang-orang yang mengantarnya ketika mereka sedang beranjak pulang, sampai datang kepada dia dua malaikat." Kapan seorang mayit itu bisa mendengar suara sandal orang yang masih hidup? Hadits tersebut menegaskan bahwa mayit tersebut hanya bisa mendengar suara sandal ketika baru saja dikubur, yaitu ketika ruhnya baru saja dikembalikan ke badannya dan dia didudukkan oleh dua malaikat. Jadi, tidak setiap hari mayit itu mendengar suara sandal orang-orang yang lalu lalang di atas kuburannya sampai hari kiamat. Sama sekali tidak !

Seandainya penafsiran Ibnu Taimiyyah di atas benar, bahwa seorang mayit itu bisa mendengar tangisan orang yang masih hidup, berarti mayit tersebut bisa merasakan dan mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya, baik ketika dia sedang diusung atau dia dimakamkan, sementara tidak ada satupun dalil yang mendukung pendapat seperti ini.

Hadits selanjutnya adalah: "Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas menjelajah di seluruh permukaan bumi untuk menyampaikan kepadaku salam yang diucapkan oleh umatku."
Seandainya mayit itu bisa mendengar, tentu mayit Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam lebih dimungkinkan bisa mendengar. Mayit beliau jauh lebih mulia dibandingkan mayit siapapun, termasuk mayit para nabi dan rasul. Seandainya mayit beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam bisa mendengar, tentu beliau mendengar salam dari umatnya yang ditujukan kepada beliau dan tidak perlu ada malaikat-malaikat khusus yang ditugasi oleh Allah untuk menyampaikan salam yang ditujukan kepada beliau.

Dari sini kita bisa mengetahui betapa salah dan sesatnya orang yang ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada orang yang sudah meninggal, siapapun dia. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia di sisi Allah dan beliau tidak mampu mendengar suara orang yang masih hidup, apalagi selain beliau. Hal ini secara tegas diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf ayat 194: "Sesungguhnya yang kalian seru selain Allah adalah hamba juga seperti kalian." Juga di dalam surat Fathir ayat 14: "Jika kalian berdo'a kepada mereka, maka mereka tidak akan mendengar do'a kalian."

Demikianlah, secara umum mayit yang ada di dalam kubur tidak bisa mendengar apa-apa kecuali saat-saat tertentu saja. Sebagaimana yang sudah diterangkan dalam beberapa ayat dan hadits di atas.

Hadîts Qudsiy

Apa Itu Hadîts Qudsiy

Pada kajian ilmu hadits kali ini, sengaja kami ketengahkan masalah Hadîts Qudsiy yang tentunya sudah sering didengar atau dibaca tentangnya namun barangkali ada sebagian kita yang belum mengetahuinya secara jelas.

Untuk itu, kami akan membahas tentangnya secara ringkas namun terperinci insya Allah, semoga bermanfa'at.

Definisi

Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.

Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an

Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
  • Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.

  • Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.

  • Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy

Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.

Contoh

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)

Lafazh-Lafazh Periwayatannya

Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2. قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya

Buku Mengenai Hadîts Qudsiy

Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.

Hadits Hudzaifah Rodhiallohu Ta’ala ‘Anhu

Hadits Hudzaifah Rodhiallohu Ta’ala ‘Anhu



NASH HADITS
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)

MAKNA HADITS

Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Alloh berfirman,
“Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”. (QS Al-An’am: 55)
Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula Sabilul Mu’minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) Sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan Sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan Sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan. Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan.
“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri”
“Barang siapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya”
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu. Maka ia berkata, “Manusia bertanya kepada Rosululloh tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”.

Kedua, Kekokohan Kita Dihancurkan dari Dalam
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa. Pertama, Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya. Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya. Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikit pun. Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Alloh dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Alloh menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya,
“Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Alloh, di mana Alloh belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS Ali Imran: 151)
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda artinya, “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; …. dan seterusnya”. (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu)
Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan, “Alloh akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian …”.
Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab, “Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”. Kemudian apa yang menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit” itu seperti buih yang mengambang di atas air?
Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barokahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun”. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (pengkhianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu ‘Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain, “Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya”. (Riwayat Abu Dawud no. 4247)
Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda beliau: “Dan di dalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”. Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam ‘Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al Qari yang berkata: “Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan (fasad)”.
Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Berkata Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”. Sedangkan Al Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim yang artinya “Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia” (Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai dai atau du’at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jamak dari da’a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317).

Ketiga, Jamaah minal Muslimin dan bukan Jamaah Muslimin/’Umm.

Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jamaatul Muslimin. Kalaulah Jamaatul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini di mana Alloh tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jamaah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jamaatul Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Alloh. Adapun jamaah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rohimahullo h yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jamaah adalah Sawadul A’dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Alloh tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.

Keempat, menjauhi semua firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!

Kelima, jalan penyelesaiannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat ‘Irbadh Ibnu Sariyah yang artinya “Barang siapa yang masih hidup di antara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barang siapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits ‘Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridhwanullah ta’ala ‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jamaah Muslimin serta Imamnya.

Kedua, di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara zhahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.

Ketiga, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh Dajjal.
Maraji’:
  1. Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
  2. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
  3. Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
  4. Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani
  5. Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
  6. As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
  7. As-Sunnan, oleh Abu Dawud
  8. As-Sunnan, oleh Tirmidzi
  9. Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
  10. Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
  11. As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
  12. ‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi
  13. Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
  14. Al-Mustadrak, oleh Hakim
  15. Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More