New Templates

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 26 Desember 2011

Akankah Amalku Di Terima ?

Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata'ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)

Sumpah Allah Subhanahuwata'ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata'ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata'ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata'ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata'ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman:
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal
Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata'ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata'ala.
Allah Subhanahuwata'ala berfirman;
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Beliau bersabda:
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata'ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah r ) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata'ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396
Allah Subhanahuwata'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah - Muhammadarrasulullah.
Wallahu a’lam.

As-Salaf As-Shalih Rujukan dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah

 Pengertian ‘Salaf’
Secara bahasa, salaf berarti orang-orang yang mendahului kita, baik dari segi keilmuan, keimanan, keutamaan, maupun kebaikannya. Ibnul Manzhur berkata, “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahuluimu, baik orang tua maupun karib kerabatmu yang lebih tua dan utama darimu.” Termasuk dalam pengertian ini apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah kepada putrinya Fatimah az-Zahra’,
“Sesunguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku” HR. Muslim (no. 1450).
Adapun yang dimaksud ‘salaf’ menurut istilah para ulama pada asalnya adalah para sahabat Nabi, kemudian disertakan kepada mereka -dalam istilah tersebut- generasi sesudah mereka yang mengikuti jejak mereka. Kitab Limadza Ikhtartu Madzhab Salaf hal. 30

Sedangkan menurut tinjauan waktu, maka ‘salaf’ maksudnya adalah generasi-generasi terbaik yang patut diteladani dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan keutamaannya oleh Rasulullah dalam sabdanya:
“Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian sesudahnya lagi.” Akan datang takhrijnya sebentar lagi. Namun, makna ‘salaf’ menurut tinjauan waktu ini masih belum cukup, karena kita melihat kemunculan firqah-firqah sesat dan bid‘ah-bid‘ah pada masa-masa tersebut, sehingga orang yang hidup pada masa tersebut tidak cukup dikatakan bahwa dia berada di atas manhaj Salaf sampai diketahui bahwa dia sejalan dengan para sahabat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, para ulama menambahkan dengan istilah ‘As-Salaf Ash-Shalih’ (generasi Salaf yang saleh). Pada perkembangan selanjutnya istilah salaf dinisbatkan kepada ‘orang-orang yang senantiasa menjaga aqidah dan manhaj hidupnya agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya sebelum terjadi perpecahan dan perselisihan’, yaitu dengan munculnya beberapa macam firqah (kelompok Islam sempalan). Ibid hal. 30-33.

Kewajiban Merujuk kepada Pemahaman Salaf

Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya (baca kembali “Fatawa” edisi ke-2). Namun kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kaum muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya. Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kita tidak boleh meyelisihi mereka ? Jawabannya adalah para sahabat Nabi. Para sahabat itulah orang-orang yang paling paham tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka.
Dalil-Dalil Bahwa Pemahaman Salaf Wajib Menjadi Rujukan Lihat Limadza ikhtartu al-manhaj as-salafi hal. 86-98, dengan perubahan.
Beberapa dalil di bawah ini menunjukkan bahwa pemahaman salaf wajib menjadi rujukan umat Islam dalam memahami agamanya.
1. Allah berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah:100).
Dalam ayat di atas Allah memuji generasi Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka, dari sini dapat diketahui bahwa bila Salaf mengemukakan suatu pendapat kemudian diikuti oleh orang-orang pada generasi berikutnya, maka mereka menjadi orang-orang yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhaan dari Allah sebagaimana yang didapatkan oleh generasi Salaf. Kalaulah mengikuti jejak Salaf tidak berbeda dengan mengikuti jejak selainnya, niscaya mereka tidak pantas untuk dipuji dan diridhai; dan hal seperti itu jelas bertentangan dengan ayat di atas. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas telah jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.
2. Allah berfirman,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang ma‘ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Namun, di antara mereka ternyata ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran:110)
Dalam ayat ini Allah menetapkan adanya keutamaan generasi Salaf dibanding keseluruhan umat karena pernyataan dalam ayat tersebut tertuju kepada kaum muslimin, yang waktu itu tiada lain adalah para sahabat, generasi salaf pertama yang mendulang ilmu langsung dari Rasulullah tanpa perantara. Adanya pemberian gelar kepada mereka sebagai umat terbaik menunjukkan bahwa mereka itu senantiasa istiqamah dalam segala hal, sehingga tidak akan menyimpang dari kebenaran. Allah juga menjelaskan sifat mereka sebagai bukti kelurusan jalan hidup mereka, yaitu bahwa mereka selalu memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan melarang seluruh yang mungkar. Berdasarkan ayat di atas, juga jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi hujjah dan rujukan bagi generasi sesudah mereka sampai Hari Kiamat.
3. Rasulullah bersabda,
“Sebaik–baik manusia adalah generasiku; kemudian generasi sesudahnya; kemudian generasi sesudahnya lagi. Selanjutnya akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” Hadits mutawatir, di antaranya dengan lafal di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2509, 3451, dan 6065), Muslim (no. 1533), dan lainnya.
Apakah yang menjadi ukuran kebaikan pada diri mereka (tiga generasi Salaf) dalam hadits Rasulullah tersebut adalah warna kulit, bentuk tubuh, harta, atau yang sejenisnya? Jelas bukan! Dan tidak diragukan lagi bahwa ukuran kebaikan yang dimaksud tidak lain adalah ketakwaan hati dan amal saleh. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian menurut pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat:13)
Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat rupa dan harta kekayaan kalian. Allah hanya akan melihat kepada hati dan amal kalian.” H.R. Muslim (no. 2564).
Salah seorang sahabat Nabi, Ibnu Mas‘ud, menceritakan bahwa Allah telah menjelaskan kepada umat ini bahwa hati para sahabat adalah sebaik-baik hati setelah hati Nabi Muhammad. Allah menganugerahkan kepada mereka pemahaman yang tidak akan pernah dicapai oleh generasi berikutnya. Sehingga, apa-apa yang mereka nilai baik, maka akan baik menurut Allah dan apa-apa yang mereka nilai buruk, juga menjadi buruk menurut Allah Lihat Musnad Ahmad (I/379).
Jadi jelaslah, pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya sampai Hari Akhir nanti.
4. Allah berfirman,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Q.S. Al-Baqarah:143)
Kata wasath pada ayat di atas artinya adil dan pilihan. Sebagaimana halnya kandungan ayat pada poin dua, walaupun sifat yang terkandung dalam ayat di atas adalah kaum muslimin secara umum, namun generasi Salaf masuk dalam barisan pertama yang mendapatkan gelaran sifat tersebut. Mereka adalah manusia yang paling adil dan pilihan. Mereka adalah generasi utama dalam umat ini. Mereka paling adil dalam berbuat, dalam berkata-kata, dan dalam berkehendak. Memang sangat pantaslah mereka dijadikan saksi atas seluruh umat. Persaksian mereka akan diterima di hadapan Allah karena persaksian mereka berdasarkan ilmu dan kejujuran. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Dan sembahan-sembahan selain Allah yang mereka sembah itu tidak dapat memberi pembelaan. (Orang yang dapat memberi pembelaan adalah) tidak lain orang yang bersaksi dengan benar (yaitu orang yang bertauhid) dan meyakini(nya).” (Q.S. Az-Zukhruf:86)
Jika persaksian mereka diterima di hadapan Allah, tentu tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya. Memang umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada generasi yang berpredikat adil secara mutlak kecuali para sahabat. Sehingga, berita mereka pasti diterima dan tidak perlu diteliti lagi kebenarannya. Dari situ jelaslah, bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi yang lainnya dalam memahami nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak dan jalan hidup mereka.
5. Allah berfirman,
“… dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (Q.S. Luqman:15)
Para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah, sehingga Allah memberikan bimbingan kepada mereka bagaimana berkata dan beramal yang baik. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan mau kembali kepada Allah, mereka mendapatkan kabar gembira; oleh sebab itu, sampaikanlah kabar tersebut kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan-perkataan lalu mengikuti mana yang paling baik di antara perkataan tersebut. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Az-Zummar:17-18)
Orang yang menelaah perjalanan hidup para sahabat pasti akan mengetahui bahwa seluruh sifat yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut dimiliki oleh mereka. Jadi, memang sudah seharusnyalah kita mengikuti jejak mereka dalam memahami agama Allah ini, baik dalam memahami Kitab-Nya maupun Sunnah Nabi-Nya. Allah mengancam orang yang tidak mau mengikuti jalan mereka dengan api neraka, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan tidak mengikuti jalan orang-orang beriman, maka Kami biarkan dia dikuasai oleh kesesatan dan akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahannam. Padahal neraka Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa’:115)
Dalam ayat tersebut, Allah mengancam orang yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman. Yaitu, jalan para sahabat -sebagai generasi pertama yang dimaksudkan dalam ayat tersebut- dan generasi sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syariat Allah adalah wajib. Barangsiapa berpaling dari jalan mereka, maka dia akan menuai kesesatan dan diancam dengan neraka Jahanam. Tidak ada jalan lain yang harus kita tempuh selain jalan kaum mukminin, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada yang lain setelah kebenaran itu, kecuali kesesatan. Maka, mengapa kamu mau dipalingkan (dari kebenaran).” (Q.S. Yunus:32)
Siapapun yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman pasti dia mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Siapa saja yang mau mengikuti jalan orang-orang beriman -jalannya para sahabat - jelas akan mendapatkan keselamatan. Jelaslah, pemahaman para sahabat -sebagai generasi salaf pertama- dalam memahami agama adalah menjadi rujukan bagi kita semuanya. Barangsiapa berpaling darinya, maka sesungguhnya dia telah memilih kebengkokan dan kesempitan. Cukuplah neraka Jahannam sebagai balasan baginya; padahal Jahannam itu sejelek-jelek tempat kembali dan tempat tinggal.
6. Rasulullah pernah bersabda dalam hadits yang menyebutkan tentang perpecahan umat. Dalam hadits tersebut beliau memerintahkan kepada kita agar memegang teguh sunnah beliau dan sunnah Khulafa’ Rasyidin. Beliau bersabda,
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada perikehidipanku dan perikehidupan Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku.”
Beliau menyatakan bahwa dari sekian banyak kelompok Islam hanya ada satu yang selamat dan menjadi ahli surga, yaitu mereka yang menempuh perikehidupan sesuai dengan bimbingan Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini beliau tegaskan dalam sabdanya:
“Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja yaitu golongan yang pada saat itu mengikuti peri kehidupanku dan peri kehidupan para sahabatku.”
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas kita mengetahui bahwa perikehidupan seluruh sahabat adalah perikehidupan Khulafa’ Rasyidin dan perikehidupan Rasulullah. Jadi jelaslah, pemahaman sahabat -sebagai generasi salaf pertama- menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.
Para Salafi Pengikut Jalan Hidup Rasulullah dan Para Sahabatnya
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat adalah satu-satunya jalan keluar dan pilihan yang tepat. Lalu, siapakah di antara sekian banyak kelompok dalam Islam yang jalan hidupnya mengikuti Rasulullah dan para sahabat? Jawabannya tidak lain adalah para salafi.
Jawaban tersebut disimpulkan dari dua hal berikut :
Pertama, paham-paham sesat seperti Khawarij, Rafidhah (Syi‘ah), Murji‘ah, Jahmiyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan lain-lain muncul setelah masa kenabian dan masa Khulafa’ Rasyidin. Paham-paham sesat seperti itu bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan jalan hidup Rasulullah dan para sahabat. Bukankah tidak mungkin kita mengatakan bahwa jalan hidup para sahabat sama dengan jalan hidup mereka? Jelas tidak mungkin. Dengan demikian jelaslah bahwa yang benar dan perlu kita ikuti jalan hidupnya bukanlah kelompok-kelompok sesat di atas. Kalau bukan mereka itu, siapa? Jelas, para salafi, yaitu orang-orang yang selalu berpegang erat dengan jalan hidup Rasulullah dan para sahabat.
Kedua, tidak kita dapati kelompok-kelompok dalam Islam yang mempunyai jalan hidup seperti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat kecuali Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah ini tidak lain adalah para salafi. Mengapa? Perlu diketahui, bahwa kelompok-kelompok sesat tersebut sebagian dari mereka meragukan keadilan sikap sahabat; sebagian yang lain bahkan mengkafirkan sahabat; sebagian yang lainnya lagi lebih mendewakan akal daripada harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Bagaimana mungkin kelompok-kelompok sesat itu mau mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat, sementara jalan hidup mereka seperti itu? Wallahu a‘lam bish shawab.

Sumber : Diambil dari artikel majalah Fatawa


Mengenal Salaf

Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (Salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ (Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para ‘ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).
Dari keterangan di atas secara global sudah bisa dipahami apa yang dimaksud dengan Salafiyah. Tapi kami akan menjelaskan tentang makna Salaf menurut para ‘ulama dengan harapan bisa mengikis anggapan/penafsiran bahwa dakwah Salafiyah adalah suatu organisasi, kelompok, aliran baru dan sangkaan-sangkaan lain yang salah dan menodai kesucian dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam ini.
Kata Salaf ini mempunyai dua definisi ; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah.
Definisi Salaf secara bahasa
Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh”.
Berkata Al-Manawi dalam At-Ta’arif jilid 2 hal. 412 : “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أََسْلاَفٌ (aslaf)”.
Masih banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat dilihat dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah minal ‘asya’irah jilid 1 hal. 21.
Jadi arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari ummat Islam.
Definisi Salaf secara Istilah
Istilah Salaf dikalangan para ‘ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum.
Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam menyatakan :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.
Makna khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan para ‘ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf secara khusus.
Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal. 111 : “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.
Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah : “As-Salaf Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang mengikuti petunjuk Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga sunnah-sunnah beilau. Allah memilih mereka untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan Allah”.
Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul ‘Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal. 62 : “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan Tabi’in”.
Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal. 31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal. 18-19.
Berkata Abul Hasan Al-Asy’ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal. 21 : “Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.
Berkata Ath-Thohawy dalam Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah : “Dan ulama salaf dari generasi yang terdahulu dan generasi yang setelah mereka dari kalangan Tabi’in (mereka adalah) Ahlul Khair (ahli kebaikan) dan Ahli Atsar (hadits) dan ahli fiqh dan telaah (peneliti), tidaklah mereka disebut melainkan dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka dia berada di atas selain jalan (yang benar)”.
Dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 2 hal. 334 ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Quro dialah yang berada dilangit, beliau berkata : “Maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan orang-orang setelahnya dari para ‘ulama ummat ini”.
Berkata Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman jilid 2 hal. 251 tatkala beliau menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya : “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka”.
Dan berkata Asy-Syihristany dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1 hal. 200 : “Kemudian mengetahui letak-letak ijma’ (kesepakatan) shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dari Salafus Sholeh sehingga ijtihadnya tidak menyelisihi ijma’ (mereka)”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 hal. 22 : “Maka tidak ada keraguan bahwasanya kitab-kitab yang terdapat di tangan-tangan manusia menjadi saksi bahwasanya seluruh salaf dari tiga generasi pertama mereka menyelesihinya”.
Dan berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy jilid 9 hal. 165 : “…Dan ini adalah madzhab Salafus Sholeh dari kalangan shahabat dan Tabi’in dan selain mereka dari para ‘ulama -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka seluruhnya-”.
Dan hal yang sama dinyatakan oleh Al-’Azhim Abady dalam ‘Aunul Ma’bud jilid 13 hal. 7.
Kedua : Makna salaf secara umum adalah tiga generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini, sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj generasi terbaik ini.
Dan berkata Al-’Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal. 20 : “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 196 tentang perkataan Ath-Thohawy bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh”.
Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal. 21 : “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama’ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : “Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….”.
Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal. 103-104 : “As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah”.
Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hal. 5 : “As-Salaf, mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan di atas manhaj mereka”.
Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Manhaj Salaf
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha :
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya”.
Dikeluarkan oleh Bukhary no. 5928 dan Muslim no. 2450.
Maka jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang salah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu adalah tak lain kecuali kebenaran”.
Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf sudah lama dikenal.
Berkata Imam Az-Zuhry (wafat 125 H) tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya : “Saya telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut) tidak apa-apa”. Lihat : Shohih Bukhary bersama Fathul Bary jilid 1 hal. 342.
Tentunya yang diinginkan dengan ‘ulama salaf oleh Az-Zuhry adalah para shahabat karena Az-Zuhry adalah seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat).
Dan Sa’ad bin Rasyid (wafat 213 H) berkata : “Adalah para salaf, lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat larinya dan lebih berani”. Lihat : Shohih Bukhary dengan Fathul Bary jilid 6 hal. 66 dan Al-Hafizh menafsirkan kata salaf : “Yaitu dari shahabat dan setelahnya”.
Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal. 552 : “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya”.
Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata : “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf”. Baca : Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal. 16.
Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.
Dan juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.
Berkata As-Sam’any dalam Al-Ansab jilid 3 hal. 273 : “Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka”.
Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal. 22 : “Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf”.
Dan saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka berada diatas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan :
1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal. 183 setelah menyebutkan hikayat bahwa Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu : “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan saya tidak mengetahui Ya’qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.
2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata : “Untuk menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia memerlukan : Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah”.
Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata : “Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah : Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”. Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal. 280.
3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny : “Beliau adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam (ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 16 hal. 457.
4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal. 1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby : “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya”. Dan lihat : Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal. 503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal. 142.
5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy…”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal. 18.
6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu ‘arudh, seorang salafy, atsary”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal. 426.
7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy : “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal. 316.
8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba’labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jamul Muhadditsin hal. 283.
9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata : “Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal. 280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal. 18).
10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal. 348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq : “Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy”.
Penamaan-Penamaan Lain Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Sebelum terjadi fitnah bid’ah perpecahan dan perselisihan dalam ummat ini, ummat Islam tidak dikenal kecuali dengan nama Islam dan kaum muslimin, kemudian setelah terjadinya perpecahan dan munculnya golongan-golongan sesat yang mana setiap golongan menyerukan dan mempropagandakan bid’ah dan kesesatannya dengan menampilkan bid’ah dan kesesatan mereka di atas nama Islam, maka tentunya hal tersebut akan melahirkan kebingungan ditengah-tengah ummat. Akan tetapi Allah Maha Bijaksana dan Maha Menjaga agama-Nya. Dialah Allah yang berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya”. (Q.S. Al Hijr ayat 9).
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.
Maka para ‘ulama salaf waktu itu yang merupakan orang-orang yang berada di atas kebenaran dan yang paling memahami aqidah yang benar dan tuntunan syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang murni yang belum ternodai oleh kotoran bid’ah dan kesesatan, mulailah mereka menampakkan penamaan-penamaan syari’at diambil dari Islam guna membedakan pengikut kebenaran dari golongan-golongan sesat tersebut.
Berkata Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah :
لَمْ يَكُوْنُوْا يَسْأَلُوْنَ عَنِ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوْا سَمّوْا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ
“Tidaklah mereka (para ‘ulama) bertanya tentang isnad (silsilah rawi). Tatkala terjadi fitnah mereka pun berkata : “Sebutkanlah kepada kami rawi-rawi kalian maka dilihatlah kepada Ahlus Sunnah lalu diambil hadits mereka dan dilihat kepada Ahlil bid’ah dan tidak diambil hadits mereka””.
Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selain dikenal sebagai Salafiyah, mereka juga mempunyai penamaan lain yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.
Berikut ini kami akan mencoba menguraikan penamaan-penamaan tersebut dengan ringkas.
1. AL-FIRQOH AN-NAJIYAH
Al-Firqoh An-Najiyah artinya golongan yang selamat. Penamaan ini diambil dari apa yang dipahami dari hadits perpecahan ummat, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan :
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَ فِيْ رِوَايَةٍ : مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيِوْمَ وَأَصْحَابِيْ.
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah dalam satu riwayat : “Apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya sekarang ini”. Hadits shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain rahimahumullah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-sunnah jilid 3 hal. 345 : “Maka apabila sifat Al-Firqoh An-Najiyah mengikuti para shahabat di masa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan itu adalah syi’ar (ciri, simbol) Ahlus Sunnah maka Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah Ahlus Sunnah”.
Dan beliau juga menyatakan dalam Majmu’ Al Fatawa jilid 3 hal. 345 : “Karena itu beliau (Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) menyifati Al-Firqoh An-Najiyah bahwa ia adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan mereka adalah jumhur yang paling banyak dan As-Sawad Al-A’zhom (kelompok yang paling besar)”.
Berkata Syaikh Hafizh Al-Hakamy : “Telah dikabarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam -yang selalu benar dan dibenarkan- bahwa Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah siapa yang di atas seperti apa yang beliau dan para shahabatnya berada di atasnya, dan sifat ini hanyalah cocok bagi orang-orang yang membawa dan menjaga sifat itu, tunduk kepadanya lagi berpegang teguh dengannya. mereka yang saya maksud ini adalah para imam hadits dan para tokoh (pengikut) Sunnah”. Lihat Ma’arijul Qobul jilid 1 hal. 19.
Maka nampaklah dari keterangan di atas asal penamaan Al-Firqoh An-Najiyah dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Diringkas dari : Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Min Ahli Ahwa`i Wal Bid’ah jillid 1 hal. 54-59.
Dan Berkata Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wad’iy rahimahullah setelah meyebutkan dua hadits tentang perpecahan ummat : “Dua hadits ini dan hadits-hadits yang semakna dengannya menunjukkan bahwa tidak ada yang selamat kecuali satu golongan dari tujuh puluh tiga golongan, dan adapun golongan-golongan yang lain di Neraka, (sehingga) mengharuskan setiap muslim mencari Al-Firqoh An-Najiyah sehingga teratur menjalaninya dan mengambil agamanya darinya”. Lihat Riyadhul Jannah Fir Roddi ‘Ala A’da`is Sunnah hal. 22.
2. ATH-THOIFAH AL MANSHUROH
Ath-Thoifah Al-Manshuroh artinya kelompok yang mendapatkan pertolongan. Penamaan ini berdasarkan hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.
Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Tsauban dan semakna dengannya diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Mughiroh bin Syu’bah dan Mu’awiyah dan diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah.
Dan hadits ini merupakan hadits mutawatir sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho` Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/69, Imam As-Suyuthy dalam Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal. 216 dan dalam Tadrib Ar-Rawi, Al Kattany dalam Nazhom Al-Mutanatsirah hal. 93 dan Az-Zabidy dalam Laqthul `Ala`i hal. 68-71. Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf.
Berkata Imam Bukhary tentang Ath-Thoifah Al-Manshuroh : “Mereka adalah para ‘ulama”.
Berkata Imam Ahmad : “Kalau mereka bukan Ahli Hadits saya tidak tahu siapa mereka”.
Al-Qodhi Iyadh mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan berkata : “Yang diinginkan oleh (Imam Ahmad) adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan siapa yang meyakini madzhab Ahlul Hadits”. Lihat : Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah 1/59-62.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Muqoddimah Al ‘Aqidah Al Washitiyah : “Amma ba’du ; Ini adalah i’tiqod (keyakinan) Al Firqoh An-Najiyah, (Ath-Thoifah) Al-Manshuroh sampai bangkitnya hari kiamat, (mereka) Ahlus Sunnah”.
Dan di akhir Al ‘Aqidah Al Washitiyah ketika memberikan definisi tentang Ahlus Sunnah, beliau berkata : “Dan mereka adalah Ath-Thoifah Al-Manshuroh yang Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda tentang mereka : “Terus menerus sekelompok dari ummatku diatas kebenaran manshuroh (tertolong) tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi dan mencerca mereka sampai hari kiamat” mudah-mudahan Allah menjadikan kita bagian dari mereka dan tidak memalingkan hati-hati kita setelah mendapatkan petunjuk”.
Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal. 97-110.
3. AHLUL HADITS
Ahlul Hadits dikenal juga dengan Ashhabul hadits atau Ashhabul Atsar. Ahlul hadits artinya orang yang mengikuti hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dan istilah Ahlul hadits ini juga merupakan salah satu nama dan kriteria Salafiyah atau Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau Ath-Thoifah Al-Manshurah.
Berkata Ibnul Jauzi : “Tidak ada keraguan bahwa Ahlun Naql Wal Atsar (Ahlul Hadits) yang mengikuti jejak-jejak Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mereka di atas jalan yang belum terjadi bid’ah”.
Berkata Al-Khathib Al-Baghdady dalam Ar-Rihlah Fii Tholabil Hadits hal. 223 : “Dan sungguh (Allah) Rabbul ‘alamin telah menjadikan Ath-Thoifah Al-Manshurah sebagai penjaga agama dan telah dipalingkan dari mereka makar orang-orang yang keras kepala karena mereka berpegang teguh dengan syari’at (Islam) yang kokoh dan mereka mengikuti jejak para shahabat dan tabi’in”.
Dan telah sepakat perkataan para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa yang dimaksud dengan Ath-Thoifah Al-Manshurah adalah para ‘ulama Salaf Ahlul Hadits. Hal ini ditafsirkan oleh banyak Imam seperti ‘Abdullah bin Mubarak, ‘Ali bin Madiny, Ahmad bin Hambal, Bukhary, Al-Hakim dan lain-lainnya,. Perkataan-perkataan para ‘ulama tersebut diuraikan dengan panjang lebar oleh Syaikh Robi’ bin Hady Al-Madkhaly dan juga Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah hadits no. 270.
Lihat : Haqiqitul Bid’ah 1/269-272, Mauqif Ibnu Taymiyah 1/32-34, Ahlul Hadits Wa Ath- Thoifah Al-Manshurah An-Najiyah, Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf dan Al-Intishor Li Ashhabil Hadits karya Muhammad ‘Umar Ba Zamul.
4. Al-Ghuraba`
Al-Ghuraba` artinya orang-orang yang asing. Asal penyifatan ini adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim No.145 :
بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. Dan hadits ini adalah hadits yang mutawatir.
Berkata Imam Al-Ajurry dalam Sifatil Ghuraba` Minal Mu’minin hal. 25 : “Dan perkataan (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam “Dan akan kembali asing” maknanya Wallahu A’lam sesungguhnya hawa nafsu yang menyesatkan akan menjadi banyak sehingga banyak dari manusia tersesat karenanya dan akan tetap ada Ahlul Haq yang berjalan diatas syari’at islam dalam keadaan asing di mata manusia, tidakkah kalian mendengar perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali satu, maka dikatakan siapa mereka yang tertolong itu? maka kata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Apa-apa yang saya dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini””.
Berkata Imam Ibnu Rajab dalam Kasyful Kurbah fi washfi hali Ahlil Ghurbah hal 22-27 : “Adapun fitnah syubhat (kerancuan-kerancuan) dan pengikut hawa nafsu yang menyesatkan sehingga hal tersebut menyebabkan terpecahnya Ahlul Qiblah (kaum muslimin) dan menjadilah mereka berkelompok-kelompok, sebagian dari mereka mengkafirkan yang lainnya dan mereka menjadi saling bermusuhan, bergolong-golongan dan berpartai-partai setelah mereka dulunya sebagai saudara dan hati-hati mereka diatas hati satu orang (Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) sehingga tidak akan selamat dari kelompok-kelompok tersebut kecuali satu golongan yang selamat. Mereka inilah yang disebut dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Terus menerus ada diantara ummatku satu kelompok yang menampakkan kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang-orang yang menghinakan dan membenci mereka sampai datang ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala (hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan tersebut”. Mereka inilah al-Ghuraba` di akhir zaman yang tersebut dalam hadits-hadits ini…”.
Demikianlah penamaan-penamaan syari’at bagi pengikut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam sesuai dengan pemahaman para ‘ulama salaf, yang apabila dipahami dengan baik akan menambah keyakinan akan wajibnya mengikuti jalan para ‘ulama salaf dan kebenaran jalan mereka serta keberuntungan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.
Cukuplah sebagai satu keistimewaan yang para salafiyun berbangga dengannya bahwa penamaan-penamaan ini semuanya dari Islam dan menggambarkan Islam hakiki yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan tentunya hal ini sangat membedakan salafiyun dari ahlu bid’ah yang bernama atau dinamakan dengan penamaan-penamaan yang hanya sekedar menampakkan bid’ah, pimpinan atau kelompok mereka seperti Tablighy nisbah kepada Jama’ah Tabligh yang didirikan oleh Muhammad Ilyas, Ikhwany nisbah kepada gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipelopori oleh Hasan Al-Banna, Surury nisbah kepada kelompok atau pemikiran Muhammad Surur Zainal ‘Abidin, Jahmy nisbah kepada Jahm bin Sofwan pembawa bendera bid’ah keyakinan bahwa Al-Qur`an adalah makhluk. Mu’tazily nisbah kepada kelompok pimpinan ‘Atho` bin Washil yang menyendiri dari halaqah Hasan Al-Bashry. Asy’ary nisbah kepada pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ary yang kemudian beliau bertobat dari pemikiran sesatnya. Syi’iy nisbah kepada kelompok Syi’ah yang mengaku mencintai keluarga Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dan masih ada ratusan penamaan lain, sangat meletihkan untuk menyebutkan dan menguraikan seluruh penamaan tersebut, maka nampaklah dengan jelas bahwa penamaan Salafiyun-Ahlus Sunnah Wal Jama’ah-Ath-Thoifah Al-Manshurah-Al-Firqoh An-Najiyah-Ahlul Hadits adalah sangat berbeda dengan penamaan-penamaan yang dipakai oleh golongan-golongan yang menyimpang dari beberapa sisi:
Satu : Penamaan-penamaan syari’at ini adalah nisbah kepada generasi awal ummat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka penamaan ini akan mencakup seluruh ummat pada setiap zaman yang berjalan sesuai dengan jalan generasi awal tersebut baik dalam mengambil ilmu atau dalam pemahaman atau dalam berdakwah dan lain-lainnya.
Dua : Kandungan dari penamaan-penamaan syari’at ini hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikit pun.
Tiga : Penamaan-penamaan ini mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Empat : Penamaan-penamaan ini hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dari jalan para pengekor hawa nafsu dan golongan-golongan sesat, dan sebagai bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan mereka.
Lima : Ikatan wala’ (loyalitas) dan baro’ (kebencian, permusuhan) bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan ini, hanyalah ikatan wala’ dan baro’ di atas Islam (Al-Qur`an dan Sunnah) bukan ikatan wala’ dan baro’ karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok, organisasi dan lain-lainnya.
Enam : Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan ini kecuali kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu yaitu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid’ah fanatismenya untuk golongan, kelompok / pemimpin.
Tujuh : Penamaan-penamaan ini sama sekali tidak akan menjerumuskan ke dalam suatu bid’ah, maksiat maupun fanatisme kepada seseorang atau kelompok dan lain-lainnya.
Lihat : Hukmul intima` hal 31-37 dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/46-47.

Minggu, 25 Desember 2011

Dusta dan Akibat yang ditimbulkan

Dusta dan Akibat yang ditimbulkan

Kemaksiatan yang ditimbulkan dari kemaluan adalah zina, dan kemaksiatan yang ditimbulkan oleh lisan adalah dusta.
Terkadang dengan lisannya seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan sebelumnya, sehingga menimbulkan fitnah dan kemudharatan yang banyak bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Diantara sebab terbanyak yang menyebabkan anak Adam terjerumus ke lembah kemaksiatan, adalah mereka tidak menjaga dua hal yaitu lidah dan kemaluannya. Sehingga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda :"Barangsiapa yang mampu menjaga apa yang terdapat diantara dua janggutnya dan apa yang ada diantara dua kakinya, maka aku jamin akan masuk surga."(Muttafaqun 'Alaih).
Kemaksiatan yang ditimbulkan dari kemaluan adalah zina, dan kemaksiatan yang ditimbulkan oleh lisan adalah dusta. Terkadang dengan lisannya seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan sebelumnya, sehingga menimbulkan fitnah dan kemudharatan yang banyak bagi dirinya maupun bagi orang lain. Oleh karena itu jelaslah bahwa diantara keselamatan seorang hamba adalah tergantung pada penjagaan seseorang terhadap lisannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah menasehati 'Uqbah bin Amir ketika dia bertanya tentang keselamatan, lalu beliau bersabda :"iharalah lidahmu, betahlah tinggal di rumahmu dan tangisililah dosa-dosamuR Tirmidzi, hadits hasan). Termasuk penyimpangan yang nyata dan banyak terjadi di masyarakat kita sekarang ini adalah melakukan dusta, baik dalam ucapan maupun perbuatan, baik dalam menjual ataupun membeli, dalam sumpah dan perjanjian, bahkan menggunakann dusta sebagai bumbu dakwah dan menjatuhkan orang karena kedengkian. Padahal urusan dusta adalah termasuk hal yang berbahaya, karena termasuk urusan haram yang menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam neraka. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :"ngguhnya dusta itu menuntun kepada kekejian itu menuntun ke dalam neraka. Tidak henti-hentinya seseorang itu berdusta dan membiasakan diri dalam dusta, sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.ttafaqun 'Alaih).
Dusta mempunya beberapa pengaruh buruk, yang seandainya hal ini disadari oleh para pendusta pasti mereka akan meninggalkan kebiasaan dustanya dan akan kembali bertaubat kepada Allah Ta'ala. Sebagian dari pengaruh buruk itu adalah
Pertama : Menyebabkan keraguan kepada dan diantara manusia
Keraguan artinya bimbang dan resah. Ini berarti sesorang pendusta selamanya menjadi sumber keresahan dan keraguan, serta menjatuhkan ketenangan pada oreang yang jujur. Berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :"Tinggalkanlah apa-apa yang membuatmu ragu dan ambil apa-apa yang tidak meragukanmu, karena sesungguhnya kejujuran itu adalah ketenangan dan dusta itu adalah keresahan"(Tirmidzi, Nasa'I Shahih).

Kedua : terjerumusnya seseorang ke dalam salah satu tanda munafiq. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :"Ada empat hal, barangsiapa yang memiliki semuanya, maka dia munafik sejati. Dan barangsiapa memiliki salah satu diantaranya berarti dia mempunyai satu jenis sifat munafik hingga dia eninggalkannya. Yaitu apabila diberi amanat dia khianat, bila berkata dia dusta, bila berjanji dia mengingkari, jika berselisih dia berkata kotor."(Muttafaq'Alaih). Sebagaimana diketahui, bahwa orang munafik akan menempati kerak neraka yang paling bawah. Sebutan munafik adalah sebutan yang amat berat, maka mengapa kita berani berdusta dan mempertahankannya padahal ia hanya akan mengantarkan kita pada kedudukan yang buruk lagi menghinakan.

Ketiga : Hilangnya kepercayaan. Sesungguhnya selama dusta menyebar dalam kehidupan bermasyarakat, maka hal itu akan menghilangkan kepercayaan di kalangan kaum muslimin. Memutuskan jalinan kasih diantara mereka, sehingga menyebabkan tercegahnya kebaikan dan menjadi penghalang sampainya kebaikan kepada orang yang berhak menerimanya.

Keempat : Memutarbalikkan kebenaran. Di antara pengaruh buruk dusta adalah memutarbalikkan kebenaran dan membawa berita yang berlainan dengan fakta, lebih-lebih dilakukan dengan tanpa memberikan kejelasan yang disyariatkan. Hal ini dilakukan karena para pendusta suka merubah kebatilan menjadi kebenaran dan kebenaran menjadi kebatilan dalam pandangan manusia. Dan apa saja yang mereka katakana tentang keburukan seseorang, dan apapun pengaruhnya, maka hati-hatilah terhadap mereka, baik yang anda baca dari mereka atau yang anda dengar karena Allah Ta'ala berifrman :"…Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta".(al-Mukmin : 28)

Kelima : Pengaruh dusta terhadap anggota badan. Dusta menjalar dari hati ke lidah, maka rusaklah lidah itu, lalu menjalar ke anggota badan maka rusaklah amal perbuatannya sebagaimana rusaknya lidah dalam berbicara. Maka jika Allah Ta'ala tidak membarikan kesembuhan dalam kejujuran kepada pendusta itu, sehingga semakin rusaklah mereka dan menjerumuskan mereka ke arah kehancuran. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :"Sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebajikan, sedangkan duka itu menuntun kepada kedurhakaan."(Muttafq 'Alaih).
Itulah sebagian kecil dari akibat buruk dusta yang semuanya merupakan akibat yang terasa di dunia. Adapun di akhirat Allah akan membalasnya dengan lebih dahsyat dan mengerikan. Jelaslah para pendusta akan berjalan diatas jalan menuju neraka, karena dengan berdusta ia akan membuka pintu keburukan lainnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :"Sesungguhnya dusta itu menuju kepada kekejian dan kekejian itu menuju kepada neraka, seseorang terus menerus berdusta sehigga di catat di sisi Allah sebagai pendusta."(Muttafaq 'Alaih). Untuk itu agar kita semua memperhatikan bahayanya dusta sehingga takut untuk melakukannya. Adapun cara untuk menhindari dusta tersebut diantaranya ialah
Pertama : Tidak bergaul dengan para pendusta dan mencari teman yang shalaeh lagi jujur.
Kedua : mempunyai keyakinan yang mantap akan bahaya yang ditimbulkannya baik di dunia maupun di akhirat.
Ketiga : melatih hati dan lisan untuk selalu berkata dan berbuat jujur.
Keempat : selalu mengkaji al-Qur'an dan aktif mengamalkannya.
Semoga Allah menganugrahkan kepada kita semua kejujuran dalam ucapan maupun perbuatan.



RASA TAKUT
Segala puji bagi Allah, puji syukur atas kebesaran wajah-Nya dan keagungan iradah-Nya. Shalawat dan salam kita persembahkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Manusia yang paling takut dan paling tahu akan ihwal Rabb-nya. Penunjuk ke jalan Allah yang lurus serta atas keluarganya dan para sahabat beliau ridwanullah Alaihim jami'an.
Imam Abu AlFaraj ibnu Al Jauzi berkata. "takut adalah bara yang menghanguskan gejolak syahwat."
Keutamaan rasa takut itu tergantung bagaimana rasa takut itu dapat menghanguskan nafsu syahwat, membendung maksiat dan menumbuhkan rasa taat. Rasa takut akan Allah juga akan menumbuhkan rasa iffah (menjaga diri), wara', taqwa, mujahadah (kesungguhan) serta amalan-amalan utama yang dapat mendekatkan dri kita kepada Allah Ta'ala.
Firman Allah :
"Sebagai petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Rabb nya." (QS. Al-A'raf:54).

"Allah Ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Rabb-nya."(Al-Bayyinah:8).

"Dan takutlah kepadaKu jika kau benar-benar orang yang beriman"(Ali-Imran:175).

"orang yang takut akan mendapat pelajaran"(Al-A'la:10).

"Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan bertambah khusyu."(Al-Isra:109).

Rasa takut (Al-Khouf) merupakan manifestasi dari ilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin bertambah pula rasa takutnya kepada Allah Ta'ala. FirmanNya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya hanyalah 'ulama."(Fathir:28)

Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang mengepakkan sayapnya dikarenakan rasa takutnya kepada allah."
Beliau juga bersabda:"Apakah engkau mendengar apa yang kudengar. Langit bergemuruh dan terus bergemuruh. Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidaklah ada tempat (dilangit dalam jarak empat jari) kecuali ada malaikat yang bersujud, berdiri ataupun ruku' ke hadirat allah Ta'ala. Dan seandainya kau mengetahui apa yang kulihat, niscaya engkau akan menyedikitkan tawa dan memperbanyak tangisan, dan kamu akan keluar ke jalanan dan menjerit kepada Allah dikarenakan rasa takutmu akan kerasnya adzab dan sikasa Allah."

Oleh sebab itu pada suatu saat dada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bergemuruh sebagaimana gemuruhnya periuk yang diletakkan di atas perapian, disebabkan tangis beliau.

Dalam sebuah hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Abu dzar dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam ia berkata,"Ya Rasulullah, apakah isi lembaran-lembaran yang dimiliki nabi musa Alaihis Salam itu?" Rasulullah menjawab, "Shuhuf Nabi Musa Alaihis Salam itu berisikan ibrah kesemuanya. Aku sangat heran kepada suatu kaum yang yakin akan kematian namun mereka berbangga-bangga, dan aku juga heran kepada seseorang yang yakin adanya neraka namun ia tertawa."(HR. Ibnu Hibban).

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari anas dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sesungguhnya beliau bertanya kepada Jibril Alaihis Salam,"Ada apakah dengan saya sehingga aku tak pernah melihat malaikat Mikail tertawa?" Malaikat Jibril menjawab:"Semenjak neraka diciptakan, malaikat tidak pernah tertawa".(HR.Ahmad)

Hasan Al-Basri berkata," Orang-orang muslim adalah kaum yang rendah hati, Allah telah menganugrahkan pendengaran, penglihatan dan tubuh kepada mereka. Sehingga orang-orang yang bodoh mengira mereka sakit, padahal mereka mempunya hati dan pikiran. Apakah mereka tidak mengetahui firman Allah ,
"Dan mereka berkata : Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami,"(QS. Fathir:34).
Sesungguhnya mereka telah bersusah payah di dunia, mereka beramal sebagaimana yang dilakukan oleh orang orang dahulu, mereka tidak bersedih kepad hal yang orang lain bersedih karenanya. Akan tetapi mereka bersedih disebabkan oleh rasa takut mereka akan api neraka.

 
KESEHARIAN MUSLIMSyaikh Abdullah bin Jaarullah bin Ibrahim Al-Jaarullah
Kata Pengantar.

Saudaraku....
Dengan penuh pengharapan bahwa kebahagian dunia dan akhirat yang akan kita dapatkan, maka kami sampaikan risalah yang berisikan pertanyaan-pertanyaan ini kehadapan anda untuk direnungkan dan di jawab dengan perbuatan.

Pertanyaan-pertanyaan ini sengaja kami angkat kehadapan anda dengan harapan yang tulus dan cinta karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, supaya kita bisa mengambil mannfaat dan faedah yang banyak darinya, disamping itu sebagai bahan kajian untuk melihat diri kita, sudah sejauh mana dan ada dimana posisinya selama ini.

Saudaraku...

Risalah ini dinukilkan dari buku saku yang sangat bagus dan menawan yaitu Zaad Al-Muslim Al-Yaumi (Bekalan Muslim Sehari-hari) dari hal. 51 - 55, bab Hayatu Yaumi Islami yang diambil dari kitab Al-Wabil Ash-Shoyyib oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dan diterjemahkan oleh saudara kita Fariq Gasim Anuz semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalasnya dengan pahala dan surganya. Kehidupan Sehari-hari Yang Islami :
1. Apakah anda selalu shalat Fajar berjama'ah di masjid setiap hari .?
2. Apakah anda selalu menjaga Shalat yang lima waktu di masjid .?
3. Apakah anda hari ini membaca Al-Qur'an .?
4. Apakah anda rutin membaca Dzikir setelah selesai melaksanakan Shalat wajib .?
5. Apakah anda selalu menjaga Shalat sunnah Rawatib sebelum dan sesudah Shalat wajib .?
6. Apakah anda (hari ini) Khusyu dalam Shalat, menghayati apa yang anda baca .?
7. Apakah anda (hari ini) mengingat Mati dan Kubur .?
8. Apakah anda (hari ini) mengingat hari Kiamat, segala peristiwa dan kedahsyatannya .?
9. Apakah anda telah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebanyak tiga kali, agar memasukkan anda ke dalam Surga .? Maka sesungguhnya barang siapa yang memohon demikian, Surga berkata :"Wahai Allah Subhanahu wa Ta'ala masukkanlah ia ke dalam Surga".
10. Apakah anda telah meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar diselamatkan dari api neraka sebanyak tiga kali .? Maka sesungguhnya barangsiapa yang berbuat demikian, neraka berkata :"Wahai Allah peliharalah dia dari api neraka". (Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya :"Barangsiapa yang memohon Surga kepada Allah sebanyak tiga kali, Surga berkata :"Wahai Allah masukkanlah ia ke dalam Surga. Dan barangsiapa yang meminta perlindungan kepada Allah agar diselamatkan dari api neraka sebanyak tiga kali, neraka berkata :"Wahai Allah selamatkanlah ia dari neraka". (Hadits Riwayat Tirmidzi dan di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami No. 911. Jilid 6).
11. Apakah anda (hari ini) membaca hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam .?
12. Apakah anda pernah berfikir untuk menjauhi teman-teman yang tidak baik .?
13. Apakah anda telah berusaha untuk menghindari banyak tertawa dan bergurau .?
14. Apakah anda (hari ini) menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala .?
15. Apakah anda selalu membaca Dzikir pagi dan sore hari .?
16. Apakah anda (hari ini) telah memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala atas dosa-dosa (yang engkau perbuat -pen) .?
17. Apakah anda telah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan benar untuk mati Syahid .? Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya :"Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidur". (Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Hakim dan ia menshahihkannya).
18. Apakah anda telah berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia menetapkan hati anda atas agama-Nya. ?
Apakah anda telah mengambil kesempatan untuk berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di waktu-waktu yang mustajab .?
19. Apakah anda telah membeli buku-buku agama Islam untuk memahami agama .? (Tentu dengan memilih buku-buku yang sesuai dengan pemahaman yang dipahami oleh para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena banyak juga buku-buku Islam yang tersebar di pasaran justru merusak pemahaman Islam yang benar, pent).
20. Apakah anda telah memintakan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk saudara-saudara mukminin dan mukminah .? Karena setiap mendo'akan mereka anda akan mendapat kebajikan pula.
21. Apakah anda telah memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala (dan bersyukur kepada-Nya, pent) atas nikmat Islam .?
22. Apakah anda telah memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala atas nikmat mata, telinga, hati dan segala nikmat lainnya .?
23. Apakah anda hari-hari ini telah bersedekah kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya .?
24. Apakah anda dapat menahan marah yang disebabkan urusan pribadi, dan berusaha untuk marah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala saja .?
25. Apakah anda telah menjauhi sikap sombong dan membanggakan diri sendiri .?
26. Apakah anda telah mengunjungi saudara seagama, ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala .?
27. Apakah anda telah menda'wahi keluarga, saudara-saudara, tetangga, dan siapa saja yang ada hubungannya dengan diri anda .?
28. Apakah anda termasuk orang yang berbakti kepada orang tua .?
29. Apakah anda mengucapkan "Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raji'uun" jika mendapatkan musibah .?
30. Apakah anda hari ini mengucapkan do'a ini : " Allahumma inii a'uudubika an usyrika bika wa anaa a'lamu wastagfiruka limaa la'alamu = Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan Engkau sedangkan aku mengetahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap apa-apa yang tidak aku ketahui". Barangsiapa yang mengucapkan yang demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menghilangkan darinya syirik besar dan syirik kecil. (Lihat Shahih Al-Jami' No. 3625).
31. Apakah anda berbuat baik kepada tetangga .?
32. Apakah anda telah membersihkan hati dari sombong, riya, hasad, dan dengki .?
33. Apakah anda telah membersihkan lisan dari dusta, mengumpat, mengadu domba, berdebat kusir dan berbuat serta berkata-kata yang tidak ada manfaatnya .?
34. Apakah anda takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hal penghasilan, makanan dan minuman, serta pakaian .?
35. Apakah anda selalu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan taubat yang sebenar-benarnya di segala waktu atas segala dosa dan kesalahan .?

Saudaraku ..
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di atas dengan perbuatan, agar kita menjadi orang yang beruntung di dunia dan akhirat, inysa Allah.

diambil dari: milis assunnah, message ke-277; posting dari Saudara Yayat Ruhiyat.

 
HILANMGKAN DENGKI
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata:
Saat kami sedang duduk-duduk bersama rasulullah saw, beliau bersabda,’akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga’. Tiba-tiba ada seorang laki-laki dari kaum anshar yang datang sementara bekas air wudhu masih mengalir di jenggotnya, sedang tangan kirinya memegang terompah. Keesokan harinya Rasulullah saw mengatakan seperti perkataanya yang kemarin. Lalu muncullah laki-laki itu lagi persis seperti kedatangannya pertama kali. Di hari ketiga Rasulullah saw mengatakannya lagi dan datanglah laki-laki itu lagi seperti kedatangannya pertama kali. Setelah Rasulullah beranjak abdullah bin amr bin Ash membuntuti laki-laki tadi sampai ke rumahnya.
Lalu abdullah berkata,’Aku telah bertengkar dengan ayahku, kemudian aku bersumpah untuk tidak mendatanginya selama tiga hari. Bila kau setuju aku mau tinggal bersamamu sampai tiga hari.’ Dia menjawab, ‘ya, boleh.’’’
Anas berkata: Abdullah menceritakan bahwa ia telah menginap di tempat laki-laki itu selama tiga hari. Dia lihat orang itu sama sekali tidak bangun malam (tahajjud).
Hanya saja, setiap kali ia terjaga dan menggeliat di atas ranjangnya, dia selalu membaca dzikir dan takbir sampai dia bangun untuk melaksanakan sholat subuh. Selain itu kata abdullah, ‘aku tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik. Setelah tiga malam berlalu dan hampir saja aku menyepelekan amalnya, aku terusik untuk bertanya, ‘wahai hamba allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dan ayahku, aku hanya mendengar Rasulullah saw berkata tentang dirimu tiga kali, bahwa akan datang kepada kalian ini seorang laki-laki penghuni surga dan sebanyak tiga kali itu kaulah yang datang. Maka akupun ingin bersamamu agar aku bisa melihat apakah amalanmu itu dan nanti akan aku tiru. Tetapi ternyata kau tidak terlalu banyak beramal. Apakah sebenarnya yang membuatmu bisa mencapai seperti apa yang disabdakan Rasulullah saw?’. Maka dia menjawab, “Aku tidak mempunyai amalan kecuali seperti apa yang engkau lihat sendiri.’ Ketika aku hendak berpaling pergi, dia memanggilku lalu berkata, ‘benar amalanku hanya yang kau lihat sendiri, hanya saja aku tidak mendapatkan sifat curang terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Aku juga tidak iri atas karunia Allah swt yang diberikan kepadanya’. Maka Abdullah bin Amr berkata, ‘inilah amalan yang telah menyampaikanmu pada derajat tinggi dan inilah yang berat untuk kami lakukan.
(Abu Abdurrahman) Riwayat Ahmad, Al-Musnad 3/166. Berkata Al-Hafidh Al-‘Iraqi, sanadnya shahih sesuai dengan sarat Al-Bukhari dan Muslim.



RENUNGAN
Puji syukur ke hadirat Alloh, Tuhan semesta alam, Dzat yang mencipta siang dan malam, tiada sesembahan yang berhaq disembah selain Dia. Salam dan shalawat tercurah kepada Rosulullah SAW.
Ikhwan wa akhwat rahimakumullah……

 
Para rosul diutus oleh Alloh Ta’ala, semenjak terjadinya kemusyrikan pertama kali terjadi di muka bumi ini. Kemudian secara beriringan Dia mengutus para rasul dan nabi yang lainnya.
Semua dengan tujuan yang sama, yaitu mengesakan Alloh di dalam dan menjauhi kemusyrikan:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada setiap umat (untuk menyerukan):’Beribadahlah kepada Alloh saja dan jauhilah thoghut (apa saja yang disembah selain Alloh)’”. (An-Nahl:36)

Semuanya dengan wahyu yang sama, yaitu mengesakan Alloh di dalam ibadah dan menjauhi thoghut serta kemusyrikan: “Dan Kami tidak mengutus seorang rosulpun sebelummu, kecuali Kami wahyukan kepadanya: Bahwasananya tidak ada Ilah (yang haq) kecuali Aku. Maka beribadahlah kepada-Ku”. (Yusuf:25)

Semua berada pada jalan yang sama, yaitu memulai da’wah untuk mengesakan Alloh di dalam ibadah dan menjauhi kemusyrikan: “Wahai kaumku, beribadahlah kepada Alloh, kamu sekali-kali tidak mempunyai Ilah (sesembahan) selain-Nya” (Al-A’raf:59,65,73,85)

Memang jin dan manusia diciptakan hanyalah untuk mengesakan Alloh dalam beribadah dan menjauhi kemusyrikan. Alloh berfirman: “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzariyat:56)

Itulah hikmah diutusnya para rosul.
Itulah inti diutusnya para rosul.
Itulah jalan para rosul.
Itulah tujuan da’wah para rosul.
Dan itulah semestinya tujuan da’wah para pengikut para rosul.

Ya akhi wa akhwat pencinta Al-Qur’an…………
Kalau memang demikian jelas dan gamblang masalah ini, mengapa muncul ide-ide dan suara-suara yang tidak seirama. Ada orang yang mengatakan : Mungkin telah jelas kepada anda dari tulisan-tulisan dan buku-buku kami, bahwa tujuan terakhir yang kita tuju dari perjuangan ini adalah mengadakan revolusi kepemimpinan. Yang kami maksudkan adalah bahwa apa yang ingin kita raih di dunia ini adalah membersihkan bumi persada dari noda-noda kepemimpinan orang-orang fasiq dan durhaka, dan kita tegakkan di dunia ini sistem pemerintahan yang shalih dan lurus. Maka usaha dan perjuangan yang berkesinambungan inilah yang kami anggap sebagai sarana yang terbesar dan tersukses untuk meraih ridha Alloh dan emncari pahala melihat Wajah-Nya yang tertinggi di dunia dan akherat.(Al-Ususul Akhlaqiyah Lil Haraqah Al-Islamiyah, hal 16)

Sangat disayangkan perkataan seperti inilah yang laris di kalangan pemuda yang bersemangat sangat tinggi, dan mereka menganggapnya sebagai kebenaran. Orang yang tidak seide dengan mereka tidak dianggap melakukan perjuangan dan amal untuk Islam yang sebenarnya!

Padahal: ‘Mungkin antum sendiri, yang bijaksana lagi faham, yang hafal Al-Qur’an dan membacanya di waktu malam dan penghujung siang serta memperhatikan sepak terjang da’wah para rosul semenjak yang pertama sampai yang terakhir, tidak mengetahui bahwa inilah tujuan para nabi yang mereka perjuangkan. Dan tidak mengetahui bahwa usaha dan perjuangan tersebut merupakan sarana terbesar dan tersukses meraih ridha Alloh dan mengharap pahala melihat Wajah-Nya. Bahkan ( sebenarnya) sarana terbesar dan tersukses untuk meraih ridha Ar-Rabb adalah mengikuti jalan da’wah para rosul dan meniti langkah mereka di salam membersihkan bumi dari kerusakan dan kemusyrikan, dan juga sarana yang terbesar adalah Islam dan Iman beserta rukun-rukunnya yang telah dikenal.” (Manhajul Anbiya’ Fid Dakwah Illah, hal:140, syeikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali).

Demikian juga yang mengatakan : “ Tujuan agama yang sebenarnya adalah menegakkan sistem pemerintahan yang shalih dan lurus” (Al-Ususul Akhlaqiyah, hal:22). Perkataan ini tidak memiliki sanad, “Karena sesungguhnya tujuan agama yang sebenarnya adalah tujuan penciptaan jin dan manusia, dan tujuan diutusnya para rosul serta diturunkannya kitab-kitab adalah ibadah kepad Allah serta mengikhlaskan ketundukkan kepada-Nya”(Manhajul Anbiya; Fid Dakwah Ilallah, hal:144, Syeikh Rabi’ bin Hadi Al-Mandkhali)

Wahai akhi wa ukhti tercinta………..
Permasalahan POLITIK sering kali dikaitkan dengan masalah IMAMAH/KEKUASAAN, dimana memang selalu menarik untuk dibicarakan. Seiring tabiat manusia yang suka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan.Tidak syak lagi, bahwa masalah tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak permasalahan dalam dien yang mulia ini. Namun amat disayangkan, sebagian orang/kelompok menyikapi masalah “kekuasaan” ini secara berlebihan .Mereka manganggap masalah POLITIK serta kroni terdekatnya-KEKUASAAN- adalah perkara yang paling urgen sekarang ini, bahkan mereka menganggap kekhalifahan merupakan solusi satu-satunya untuk mengentaskan seabrek problematika yang tenganh menimpa umat Islam ini.

Sedang di lain pihak, mereka memandang rendah orang-orang yang berusaha menjauhkan diri dari lumpur jerat dosa politik, khususnya Ahlu sunnah wal jama’ah. Ahlu sunnah wal jamaah merupakan kelompok extrim, mereka hanya ngurus soal aqidah melulu, mereka adalah pemecah belah umat mereka adalah……(dsb…..dsb)…..segunung “gelar” mereka sandangkan ke Ahlu sunnah wal jamaah. APA BENAR DEMIKIAN?

Untuk menjawab masalah tersebut, kita perlu menilik kembali sirah da’wah Rosulullah SAW. Kita bersama sudah sepakat untuk bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah SESUAI dengan pemahaman generasi umat ini, generasi para shahabat. BUKAN berdasarkan dengan analisa akal atau perasaan yang bersifat nisbi dan spekulatif.

Beberapa pandangan alim ulama tentang imamah:
Imam Abul Hasan Al-Mawardi: “Imamah ditegakkan sebagai salah satu sarana untuk meneruskan Khilafatun Nubuwwah dalam rangak memelihara dien dan mengatur urusan dunia. Menegakkannya di tengah-tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma’ bagi yang berwenang untuk itu, meskipun Al-Asham menyelisihi ijma tersebut. Kemudian yang diperselisihkan adalah, apakah hal itu wajib berdasarkan syar’I atau berdasarkan akal?”

Sebagian ulama berkata: “Wajib berdasarkan akal! Sebab secara tabiat, orang yg berakal pesti menyerahkan urusan mereka kepada seorang pemimpin yg dapat melindungi mereka dari tindak kedholiman.

Seorang penyair bernama Al-Afwah Al-Audi berkata:
Urusan manusia akan hancur berantakan bila tanpa pemimpin.
Dan tidak ada gunanya pemimpin,
Jika orang-orang bodoh yg menguasainya.

Sebagian yg lain berpendapat: “Wajib berdasarkan dalil syar’i bukan dengan akal. Sebab seorang imam berkewajiban menerapkan hukum-hukum syari’at. Telah dibuktikan dengan akal itu sendiri bahwa saran ibadah tidak mungkin ditetapkan dengan logika. Oleh karena itu, akal bukanlah faktor yg mewajibkannya.”

Dengan demikian, telah ditetapkan wajibnya mengangkat seorang imam status wajibnya adalah wajib kifayah, seperti halnya jihad, menuntut ilmu, dll.(ahkamus Sulthaniyah hal 5-6). Jadi hal ini termasuk FIQH yang tercantum dalam buku-buku fiqh beserta syarat-syaratnya. BUKAN termasuk masalah ushuludin apalagi rukun Islam. Masalah tsb tercantum dalam buku-buku furu’(fiqh) yg sangat mungkin timbul perbedaan pendapat.

Bahkan mengangkat masalah imamah lebih dari yg semestinya serta berlebih-lebihan dalam mempropagandakannya termasuk dasar agama SYI’AH RAFIDHAH.

Ibnul Muthahhir Al-Hulli, berkata dalam bukunya “Amma Ba’du, risalah yang mulia dan manakala yang menyentuh ini mencantumkan tuntutan TERPENTING dalam hukum Islam dan termasuk maslaha kaum muslimin yang PALING AGUNG, yaitu masalah imamah. Hanya melalui masalah itulah derajat yang mulia dapat diraih. Masalah imamah TERMASUK salah satu rukun iman, yang meruoakan sebab dapat kekal di dalam surga serta dapat terhindar dari murka ALLOH (Minhajus Sunnah I/20).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah membantah ucapan di atas, beliau berkata : “Sesungguhnya yang berpendapat bahwa maslah ‘imamah’ adalah tuntutan yang paling urgen di dalam hukum Islam dan merupakan masalah kaum muslimin yang paling mulia adalah DUSTA BELAKA berdasarkan ijma kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlu sunnah maupun kalangan Syi’ah. Bahkan pendapat seperti itu adalah kekufuran. Sebab masalah iman kepada Alloh dan Rosul-Nya lebih penting dari pada masalah ‘imamah’. Hal itu sudah sangat dimaklumi di dalam dienul Islam. Seorang kafir tidak akan menjadi seorang mukmin hingga ia bersyahadat Laa Ilaaha Illallaahu wa Anna Muhammadan Rasulullah. Atas dasar itulah Rosulullah SAW memerangi kaum kafir. (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah I/16)

Syaikh Rabi’ bin Hadi menyimpulkan: “Anda dapat melihat, alim ulama menggolongkan masalah ini dalam masalah furu’. Masalah ‘imamah’ tidak lebih hanyalah wasilah (bukan tujuan utama) yang berfungsi sebagai pelindung dienul Islam dan pengatur urusan dunia. Apakah layak masalah ‘imamah yang diperbolehkan dalil wajibnya tsb dikatakan sebagai “tujuan dien yang hakiki”, “ kewajiban utama para nabi” dan ungkapan-ungkapan lainnya yang berlebihan? Yang membesar-besarkan masalah itu lebih dari ukurannya? Lalu meremehkan masalah aqidah dan prinsip-prinsip dien lainnya? (Manhajul Anabiya’ fid Da’wati Ilallah hal155)

Ya ikhwan wa akhwat yang senantiasa menjaga tingkah lakunya……………..sering pikiran kita diserang dng pertanyaan-pertanyaan yg membingungkan, kecuali kalau kita sudah mempunyai dasar yg kuat. Seperti: AQIDAH TAUHID TERLEBIH DAHULU ATAUKAH KEKUASAAN?

Tentu saja, aqidah yang benar adalah jaminan kemenangan umat yang mulia ini. Dapat kita teladani gambaran dari masyarakat Madinah yang dibina langsung oleh Rosulullah SAW. Dalam riwayat Mu’awiyah bin Al Hakam As-Sulami disebutkan bahwa Rosulullah pernah bertanya: “Dimana Alloh?” kepada seorang budak wanita yang sehari-harinya menggembalakan kambingnya di Jawwaniyah. Ternyata budak wanita tsb dapat menjawab dengan tepat tanpa ada satu titik keraguanpun. Artinya adalah keyakinan dan aqidah seperti itu sudah merata di kota Madinah, hingga seorang budak wanita yang sehari-harinya menggembalakan kambing jauh di luar kota juga mengetahuinya.

Dengan masyarakat seperti itulah agama Islam mencapai kejayaannya. Hingga daulah mereka terbentang dari Andalusia sampai ke negeri China. Benarlah janji Alloh dalam surat An-Nur:55 : “Dan Alloh telah berjanji kepada orang-orang yg beriman diantara kamu dan mengerjakan amal sholeh, bahwa Dia akan bersungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimanaa Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan menegakkan bagi mereka agama yg telah diridhoi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukarkan keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah janji itu , maka mereka itulah orang-orang yang fasiq”

Sekarang kita lihat kondisi umat Islam sekarang ini, terutama di sekitar kita -Indo dan sekitarnya- apakah mereka mengetahui masalah aqidah yang sederhana tadi? Cukup realita yang menjawabnya! Padahal dalam ayat lain Alloh berfirman: “Maka jika mereka kepada apa yang telah beriman kepadanya, sungguh mereka mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka dalam permusuhan(dengan kamu). Maka Alloh akan memelihara kamu dari mereka. Dan dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah:137)

Wahai akhi wa ukhti sekalian………
Berpaling dari aqidah yg benar adalah sumber perpecahan, permusuhan, dan pertikaian. Jelaslah bahwa JALAN menuju kejayaan umat adalah dengan memperbaiki aqidah mereka terlebih dahulu dari noda-noda syirik. Karena itu kita harus memulainya dengan meluruskan aqidah terlebih dahulu, mendidik generasi berikutnya atas dasar aqidah yg benar, sehingga terwujud suatu generasi tahanuji dan sabar dalam menghadapi berbagai cobaan, sebagaimana yg terjadi pada generasi awal Islam. (Minhajul Firqatun Najiyah, Syaikh Muh. Jamil Zainu)

Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa para nabi tidaklah diutus untuk menumbangkan satu daulah dan menegakkan daulah lainnya. Mereka bukanlah pengejar kekuasaan dan bukan pula termasuk orang yangberlomba-lomba merebutnya. Mereka jauh dari INTRIK-INTRIK POLITIK yang menyimpang. Mereka hanyalah membawa hidayah bagi alam semesta, menyelamatkan umat manusia dari kesesatan bid’ah dan syirik, mengeluarkan umat manusia dari alam kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Serta memperingatkan umat manusia dari murka Alloh.

Ya para pecinta Qur’an yg senantiasa membacanya…….
Kita semua pasti tahu melalui sirah para nabi, meskipun kekuasaan disodorkan kepada mereka, pastilah mereka tolak. Padahal bisa saja mereka menerimanya lalu memerintahkan para pengikutnya untuk menaatinya, tapi mengapa tidak? Karena mereka tetap memilih, mereka tetap konsisten di atas jalur da’wah kepada jalan Alloh. Sebagaimana tawaran kaum kafir Quraisy kepada Rosulullah SAW yg secara tegas beliau tolak. Pernah juga ditawarkan kepada beliau apakah suka menjadi nabi merangkap raja ataukah menjadi seorang hamba dan rosul. Beliau lebih memilih menjadi seorang jamba dan rosul. Diriwatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Malaikat Jibril as. Pernah menemui Rosulullah SAW. Kemudian ia menatap langit, ternyata seorang malaikat sedang turun. Malaikat Jibril as. berkata “ Wahai Muhammad, Alloh telah mengutusku kepadamu, Dia memberimu pilihan:’apakah engkau suka menjadi seorang nabi marangkap raja ataukah seorang hamba dan rosul?” Malaikat Jibril as. berkata kepada Rosulullah SAW “bersikap tawadhu’lah terhadap Rabbmu!” Rosulullah SAW akhirnya menjawab: “Aku lebih senang menjadi seorang hamba dan Rosul!” (H.R. Ahmad II/231)

Ya akhi wa ukhti rahimakumullah………..
Telah begitu jelas petunjuk serta jalan dan contoh yg telah dijelaskan Alloh melalui para nabi-Nya. Kalau boleh ana buat perumpamaan, makanan yg lezat, mengenyangkan lagi bergizi tinggi telah dihidangkan kepada kita, kita tinggal memakannya tanpa bersusah payah tapi mengapa kita malah berpaling? Mengapa kita malah mengorek-orek tong sampah untuk mencari makanan yg tidak jelas sumbernya, yg kotor lagi membuat celaka? Itulah perumpamaan bagi orang-orang ahlu bid’ah, ahlu hawa yang senantiasa mengacaukan pemikiran serta menyesatkan orang muslim dari jalan yg lurus.

Demikianlah sikap seorang ahlus sunnah terhadap setiap masalah, senatiasa mencari solusinya dari apa yg terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rosulullah SAW.

Ikhwan wa akhwat fillah, akhirnya marilah kita berdoa dan mengharap kepada Alloh, agar kita diberi kekuatan hati serta iman dalam menghadapi berbagai cobaan dan tantangan. Semoga dengan demikian kita termasuk ke dalam golongan Ath-Thaifah Al-Manshurah, golongan Al-Firqotun Najiyah, ahlu ittiba’, ahlu atsar yang senantiasa mencontoh jejak Rosulullah SAW serta para shahabatnya.

Jazakumulloh khoiron atas perhatian antum semua.
Wallahu Waliyyut Taufiq

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More